Pembaca yang terhormat. Untuk kesekian kalinya aku mencoba memenuhi permintaan salah satu pembaca untuk menuliskan pengalamannya. Banyak sekali pembaca yang memintaku untuk menuliskan apa yang mereka alami baik itu pembaca pria maupun wanita. Namun karena keterbatasan waktu aku belum bisa memenuhi semuanya. Aku mencoba menuliskannya satu per satu. Untuk itu bagi pembaca yang belum dapat kutuliskan pengalamannya agar dapat berbagi dengan seluruh pencinta situs ini, aku mohon maaf. Pokoknya harap bersabar dulu, nanti kalau sudah sampai gilirannya pasti aku akan membantu menuliskannya.
Kali ini aku mencoba menuliskan pengalaman yang dialami oleh salah satu pembaca yang kebetulan tinggal di Jakarta dan berprofesi sebagai seorang eksekutif di salah satu perusahaan asing. Berikut ini kisah selengkapnya.
*****
Sebut saja namaku Linda (samaran). Aku saat ini bekerja sebagai seorang senior marketing di suatu perusahaan multinasional yang berkantor di salah satu gedung di kawasan Jakarta Selatan. Usiaku saat ini 31 tahun. Aku sudah berkeluarga dengan satu anak yang baru berumur 2 tahun, Rio. Ia sedang lucu-lucunya. Suamiku, sebut saja Mas Edi, bekerja sebagai seorang junior manager di salah satu perusahaan swasta di kawasan CBD dekat Semanggi.
Aku dan suamiku saat ini sudah mampu memiliki rumah sendiri di kawasan Cimanggis. Dengan kesibukan kami masing-masing, praktis waktu kebersamaan kami hanyalah dua hari dalam satu minggu, yakni hari Sabtu dan Minggu. Untuk itu kami memanfaatkan waktu kebersamaan sebaik-baiknya.
Bagiku hubungan seks dengan suami tidak mengutamakan kuantitas. Kualitas jauh lebih penting, karena dengan kualitas hubungan yang baik maka kenikmatan yang aku peroleh justru sangat maksimal. Jadi dalam hal hubungan seks, antara aku dan suamiku tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah kadang-kadang aku berfantasi ingin melakukan hubungan seks dengan orang dari kalangan lower class!! Aku sering berfantasi dan sangat terobsesi untuk berhubungan dengan orang yang memiliki gairah liar. Hal ini disebabkan karena suamiku selalu memperlakukanku dengan lembut. Itulah masalahnya!!
Aku sering membayangkan bagaimana rasanya berhubungan badan dengan orang-orang yang kasar. Mungkin ini semacam fantasi liarku yang terpendam. Ini mungkin timbul dari keadaanku yang sejak kecil selalu bergaul dengan perempuan! Soalnya dari keluargaku semuanya terdiri dari anak perempuan! Dari tiga bersaudara sekandung aku merupakan anak pertama, kedua adikku perempuan dan sejak aku berumur 16 tahun ayahku meninggal sehingga praktis kami berempat termasuk ibuku perempuan semua dalam satu rumah. Begitu pula saat bekerja, di kantorku jumlah karyawan terbanyak adalah perempuan! Karyawan laki-laki hanya beberapa orang termasuk satpam, sopir serta office boy.
Kata orang penampilanku sangat menarik! Aku tidak menyombongkan diri memang begitulah kenyataannya. Kulitku putih bersih. Ukuran tubuhku sangat ideal menurut pendapatku. Tinggi badanku 165 cm dan berat badanku 55 kg, dan ukuran dadaku 36B. Dengan keadaan fisik seperti ini tidak sulit bagiku untuk menaklukkan lelaki yang kuinginkan.
Di kantorku ada satu orang office boy yang membuatku tertarik akan kejantanannya. Orang itu namanya Parjo, berasal dari Tegal, satu kampung denganku. Ia baru berusia 21 tahun. Orangnya tinggi besar dan wajahnya lumayan ganteng. Hal yang membuatku kadang terpesona oleh kejantanannya adalah bau keringatnya yang menyengat dan asli khas bau lelaki. Aku kerap kali membayangkan bagaimana bila aku disetubuhi olehnya. Aku sering kali memimpikan bahwa memekku digenjot oleh batang kontolnya yang dari luar celananya tampak menggembung menandakan besarnya isi yang ada didalamnya. Inilah salah satu fantasi liarku, yaitu disetubuhi oleh orang yang kasar seperti dia. Aku mudah saja dekat dengannya karena kami berasal dari satu kabupaten hanya beda kecamatan.
Sebagai seorang Senior Marketing aku menempati ruang khusus sebagai kantorku. Pembaca jangan membayangkan kalau ruang khusus di kantorku ruangnya tertutup sama sekali. Tidak, ruang kantorku sebenarnya mirip-mirip aula yang luas! Cuma disekat-sekat dengan partisi. Ruang khusus yang kumaksudkan adalah dalam satu ruangan yang disekat partisi dengan luas kira-kira 2,5 x 2 m hanya diperuntukkan bagiku. Karyawan lain yang tingkatannya masih di bawahku biasanya menempati satu ruang yang disekat secara bersama-sama sekitar 3 atau 4 orang dalam satu ruangan. Dengan demikian aku mempunyai lebih banyak privacy di kantorku ini.
Aku kerap kali membuka-buka internet terutama saat-saat istirahat pada jam-jam menjelang kerja lembur. Salah satu situs yang menjadi favoritku adalah 17Tahun.com ini. Soalnya dengan membaca kisah-kisahnya fantasiku bisa melayang sesuai dengan alur cerita yang dibawakan si penulis! Aku tak peduli kalau itu kisah nyata atau cuma karangan si penulis.. Yang penting bagiku bisa memuaskan imajinasiku, titik! Oh ya.. Karena kesibukanku, aku kerap kali harus bekerja lembur sore hari hingga sampai jam 20.00 aku baru keluar kantor. Dalam satu minggu, mungkin aku kerja lembur selama 3 hari. Bagiku lembur lebih baik dibandingkan harus terkena macet di jalan yang tiap hari selalu menghantui Jakarta. Yach.. Dari pada waktu terbuang karena macet di jalanan, mendingan kerja lembur bisa dapat tambahan uang belanja, iya kan?
Suatu sore, seperti biasanya saat menjelang lembur aku mulai asyik membuka-buka kisah-kisah erotis di situs ini. Suasana kantor sudah mulai sepi karena karyawan sudah mulai meninggalkan tempatnya masing-masing. Hal ini sudah biasa bagiku dan tidak menjadi sesuatu yang istimewa sehingga aku cuma menyahut kecil saat satu-demi satu rekan-rekanku pamitan mau pulang duluan.
Aku mulai terangsang saat membaca kisah-kisah yang benar-benar erotis. Ingatanku jadi melayang pada fantasi liar yang selalu mengobsesiku. Entah karena kebetulan atau memang nasib sedang mujur.. Ternyata office boy yang menjadi incaranku saat itu sedang membersihkan ruang meeting yang besok pagi akan digunakan untuk rapat evaluasi bulanan. Ruang meeting itu persis berada di samping ruanganku sehingga saat si Parjo lewat, keringatnya yang baunya menusuk sempat tercium olehku. Fantasiku kian menggelora begitu mengendus aroma keringatnya itu.
Aku segera mencari akal bagaimana caranya agar si Parjo mendekatiku. Akhirnya aku punya akal untuk menyuruhnya membersihkan ruanganku yang sengaja kubuat berantakan. Ini kumaksudkan agar Parjo berada dekat denganku dan aku bisa terus mengendus keringatnya yang seksi itu.
Dengan patuh akhirnya Parjo datang juga ke ruanganku dan mulai membereskan tempatku yang memang berantakan. Aku masih tetap membuka situs ngeres ini sambil menghirup aroma keringatnya yang semakin menyengat saat ia mulai bekerja. Aku sempat meliriknya saat ia mencuri-curi pandang ke arah pahaku yang setengah terbuka. Aku memang memakai rok pendek sehingga pahaku yang putih jenjang kelihatan sangat indah dan sangat kontras dengan rok pendekku yang berwarna gelap. Parjo memalingkan wajahnya dengan malu saat kutangkap basah mencuri-curi pandang ke arah pahaku.
Aku tetap pura-pura sibuk melihat monitor sambil membaca cerita erotis yang tersaji di depanku. Parjo yang sedang berjongkok membersihkan kolong mejaku tampak berhenti bergerak. Dengan sudut mataku kulihat ia sedang memperhatikan kedua pahaku dari kolong mejaku. Kubiarkan saja hal itu terjadi. Iseng-iseng aku menggodanya agar ia pusing sendiri melihat keindahan pahaku.
Aku tidak menduga kalau ternyata Parjo seberani itu. Tiba-tiba aku merasa ada benda hangat menyentuh pahaku yang setengah terbuka. Aku tercekat mendapati ia senekat itu, padahal sempat kudengar masih ada suara orang lain yang sedang bercakap-cakap di ruang sebelah. Ternyata masih ada dua orang kolegaku yang belum keluar. Mereka sedang bersiap-siap pulang dan sedang berjalan mendekat ke ruanganku untuk pamitan. Aku tidak berani berteriak saat tangan Parjo yang nakal mulai menggerayangi pahaku dari kolong mejaku. Aku hanya berusaha mengatupkan kedua pahaku agar tangannya tidak bergerak terlalu jauh. Aku menggigit bibirku menahan geli saat tangannya yang kasar mengelus-elus paha bagian dalamku dan tangannya yang terjepit kedua pahaku berusaha bergerak-gerak ke atas.
"Mbak Linda.. Mau lembur lagi" terdengar suara Ida salah seorang staf bagian purchasing menyapaku dari luar ruangan.
"Ehh.. Ii.. Iya habis buat persiapan meeting besok" aku tergagap menjawab pertanyaannya.
Aku khawatir kalau-kalau si Ida dan Dewi yang saat itu belum pulang masuk ke ruanganku dan tahu apa yang terjadi. Yang kurang ajar lagi, ternyata tangan Parjo terus memaksa bergerak ke atas hingga aku tak mampu menahannya lagi. Kini tangannya sudah mulai meraba dan meremas vaginaku dari luar CD nylonku. Aku yang tadi sudah terangsang karena bacaan cerita ngeres semakin terangsang lagi dengan perlakuan Parjo itu.
"Kita pulang duluan ya Mbak.. Sampai ketemu besok! Salam buat Rio si kecil".
Suara Dewi sedikit melegakanku, karena kekhawatiranku kalau mereka akan nyelonong ke ruanganku tidak terjadi. Mereka berdua langsung keluar ruangan. Kini di kantor hanya tinggal aku dan Parjo yang saat itu masih sibuk meremas vaginaku dari luar CD-ku.
Aku yang sudah sangat terangsang tidak dapat menolak lagi apa yang ia perbuat. Tanpa sadar aku membuka kedua pahaku agak lebar. Mendapat angin seperti itu, jari Parjo yang nakal segera menyusup ke dalam CD-ku dan mulai mengorek-ngorek lubang vaginaku yang sudah mulai basah. Napasku sudah mulai memburu menahan gejolak yang mulai mendesak.
Konsentrasiku membaca sudah mulai hilang karena pandangan mataku mulai kabur menerima rangsangan Parjo. Kini bukan hanya tangannya yang aktif bergerilya di selangkanganku yang sedikit terbuka. Lidah Parjo pun mulai bergerak menjilati kedua pahaku sambil bersimpuh di depan kursiku. Rok pendekku dipaksanya terbuka hingga pahaku semakin terbuka.
Lidah Parjo yang panas menggelora mulai bergerak-gerak liar menyapu seluruh permukaan kulit pahaku yang sangat sensitif. Tubuhku semakin menggigil menahan geli saat lidahnya menyusuri kulit pahaku disertai dengan gigitan-gigitan kecil. Gila, Parjo rupanya tahu kalau aku sedang membuka cerita ngeres saat ia masuk dan kusuruh membersihkan ruanganku sehingga ia berani berbuat kurang ajar padaku. Aku sebetulnya tadi cuma menggoda saja. Aku tidak menduga kalau akan sejauh ini.
"Jo.. Jang.. anhh" aku mendesis tapi tidak berani berteriak karena takut kalau ada orang yang mendengar.
Namun Parjo rupanya sudah kesetanan. Pantatku ditariknya ke bawah hingga aku terduduk di ujung kursiku. Hal ini memudahkan Parjo menyingkap rokku dan menarik CD-ku hingga ke lututku. Tanpa membuang waktu, Parjo mengangkat kedua pahaku dan mementangkannya di atas kepalanya. Wajahnya menyuruk ke selangkanganku dan lidahnya menghunjam ke dalam lubang vaginaku yang sudah sangat basah. Aku tak mampu bergerak lagi. Tangannya yang kokoh memegang erat kedua pahaku hingga tak bisa lagi bergerak. Aku takut memberontak karena aku sudah duduk di ujung kursi, jadi kalau bergerak dengan keras aku mungkin bisa jatuh.
Aku hanya pasrah dan menikmati saja apa yang seharusnya tidak boleh kulakukan. Aku memang terobsesi bercinta dengan orang kasar seperti dia, namun itu hanya sebatas fantasi liarku. Aku tidak ingin mengkhianati suamiku. Desakan birahi semakin menyergapku saat lidah Parjo menyeruak masuk ke dalam lubang vaginaku dan bergerak kasar menggesek-gesek menggelitik lubang vaginaku. Lidahnya yang kasar bergerak liar semakin dalam ke dalam lubang kemaluanku. Napasnya yang menggemuruh kurasakan menghembus bibir vaginaku.
Mataku mulai berkunang-kunang menahan gejolak nafsuku yang kian meledak-ledak. Perutku sudah mulai kejang karena bibir Parjo mulai menyedot-nyedot itilku yang sudah sangat membengkak. Aku hampir saja mencapai orgasme saat tiba-tiba telepon di mejaku berdering.
"Jo.. Stop.. Stopp" Seolah-olah tersadar akan keadaanku, aku segera berteriak keras menghentikan aktivitas Parjo.
"Ma.. Maaf Bu.." ujarnya.
Mungkin karena takut aku akan berteriak, Parjo segera berhenti dan langsung keluar ruanganku serta menghilang ke dalam meeting room. Aku segera membereskan pakaianku yang acak-acakan dan mengatur napas sebelum mengangkat telepon.
"Halloo.." sapaku di telepon.
"Mah.. Ini aku Edy! Mau pulang sama-sama enggak?" terdengar suara suamiku di seberang sana.
"I.. Iya.. Aku tunggu Pah.." akhirnya aku memutuskan untuk jadi lembur hari itu.
Aku merasa bersalah dengan suamiku. Untung saja tadi suamiku menelepon hingga aku tidak berbuat terlalu jauh dengan si Parjo. Untuk menutupi rasa bersalahku sekaligus menuntaskan apa yang tadi telah dimulai oleh Parjo, malam itu aku mengajak suamiku bermain cinta. Aku melayani suamiku secara total. Kami yang biasanya bermain cinta sekali, malam itu aku meminta suamiku menyetubuhiku hingga tiga kali. Gila! Untung saja suamiku tidak terlalu curiga dengan keganjilan ini. Hari ini aku selamat dari perbuatan selingkuh.
Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa sudah hampir satu bulan sejak kejadian waktu aku hampir saja mengkhianati suamiku dengan kejadian di ruangan kantorku. Aku pun sudah mulai dapat melupakan kejadian itu soalnya selama ini aku juga hampir tidak pernah melihat Parjo. Aku pun tidak berusaha ingin mengetahui keberadaannya.
Kira-kira satu minggu menjelang bulan puasa kegiatanku semakin bertambah sibuk. Aku harus banyak mempersiapkan kegiatan promosi menjelang penjualan untuk hari raya lebaran nanti. Untuk itu aku banyak melakukan lembur seperti biasanya.
Aku masih ingat saat itu hari Kamis tanggal 7 Oktober, aku seperti biasanya lembur di kantor. Saat itu yang ada di kantor hanyalah aku dan Ida yang juga sedang lembur menyelesaikan tugasnya. Kira-kira pukul 18.00, Ida mendatangi ruanganku dan mengajakku pulang bersama-sama, namun aku yang masih harus menyelesaikan beberapa laporan memintanya untuk pulang duluan, sehingga praktis di kantor hanya tinggal aku sendirian. Aku tidak takut karena sudah terbiasa, lagi pula ada security yang selalu berjaga-jaga di lobby bawah di lantai satu.
Entah karena ruangan AC yang dingin atau mungkin karena sejak sore tadi aku belum ke rest room maka aku merasa ingin sekali buang air kecil. Karena desakan itu aku pun meninggalkan ruanganku dan pergi ke rest room yang letaknya di luar ruangan kantor namun masih satu lantai dengan kantorku. Karena aku yakin sudah tidak ada orang lain, maka aku melepas CD-ku dan memasukannya ke tasku sebelum ke rest room. Hal ini kulakukan agar mudah melepas hajatku nanti. Praktis saat itu aku tanpa mengenakan CD saat pergi ke rest room. Toh rok pendekku cukup tebal, jadi kalau pun masih ada orang tidak bakalan ketahuan, pikirku.
Keadaan memang sepi di kantor. Saat aku melewati koridor di samping kantorku pun tidak tampak ada satu orang pun di sana. Aku lalu masuk ke rest room dan menutup pintu kemudian langsung menghambur masuk ke salah satu toilet yang berjajar di sana. Aku merasa lega sekali setelah hajatku yang sedari tadi merongrongku terlepas sudah. Kini aku bisa kembali bekerja dengan tenang.
Saat itu aku sedang merapikan pakaianku di depan cermin di ruangan rest room. Aku terkejut setengah mati saat aku tersadar bahwa ternyata di rest room sudah ada orang lain selain diriku. Yang lebih mengejutkan ternyata orang itu adalah Parjo yang sedari tadi memperhatikan diriku saat mematut diriku di depan cermin.
Belum sempat hilang rasa terkejutku, Parjo sudah mendatangi dan langsung memeluk tubuhku. Aku yang termasuk sudah cukup tinggi untuk ukuran wanita ternyata masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan Parjo. Mungkin tingginya sekitar 175-an lebih karena ternyata tinggi tubuhku hanya sebatas hidungnya saja. Selain tinggi, tubuh Parjo sangat kekar dan tegap hingga aku tak mampu bergerak saat kedua tangannya yang kokoh menyergapku.
Didekapnya tubuhku erat-erat dengan kedua lengannya yang kokoh. Kemudian sambil sedikit menundukkan kepalanya, bibir Parjo yang tebal mulai menyentuh bibirku. Lidahnya mulai menerobos bibirku dan mencari-cari lidahku. Napasnya mendengus-dengus menggebu-gebu. Aku tidak mampu menghindar karena tubuhku terjepit lengannya yang begitu kokoh.
"Hmmngghh.. Ughh..", saat lidah Parjo dapat menemukan lidahku, ia mulai mengerang dengan suara yang benar-benar maskulin. Aku yang tadinya berusaha meronta-ronta, mulai berdesir darahku mendengar erangan maskulinnya itu.
Aku merasa betapa dekapan Parjo begitu ketat menarik tubuhku hingga tubuhku dan tubuhnya berhimpitan sangat ketat. Aku dapat merasakan ada benda yang mengganjal di perutku dari balik celana Parjo. Tangan Parjo yang mendekapku mulai bergerak nakal. Satu tangannya mulai meremas buah pantatku dari luar rok ketatku sedangkan tangan satunya sangat ketat mendekap punggungku.
Aku mulai terangsang saat lidah Parjo yang bergerak liar di dalam mulutku mulai mendorong-dorong lidahku dan tangannya yang tadinya meremas-remas buah pantatku mulai menyingkap rokku ke atas. Rokku ditariknya ke atas hingga pantatku yang tidak tertutup CD segera tersentuh langsung oleh telapak tangannya yang kasar. Aku menggerinjal karena tangannya yang kasar terasa geli di pantatku yang halus.
"Hhsshh.. Oughh.." tanpa sadar aku sedikit melenguh karena tangan kasar Parjo meremas buah pantatku yang terbuka dengan gemasnya. Napasku mulai memburu dan gairahku mulai terusik. Apalagi bau keringat Parjo yang menusuk sangat maskulin dalam penciumanku.
"Ja.. Jangan.. Joo.. Ohh.. Sshh" antara sadar dan tidak aku masih sempat meronta dan mulutku masih mencoba mencegah perbuatan Parjo lebih jauh. Namun seolah tak peduli dengan desisanku atau mungkin karena penolakanku tidak begitu sungguh-sungguh, Parjo tetap saja merangsekku dengan serbuan-serbuan erotisnya.
Lidah Parjo terus saja menjilat-jilat mulutku dan turun ke daguku. Aku semakin gelisah menerima rangsangan ini, apalagi tangan Parjo yang tadinya meremas-remasa pantatku kini bergeser ke depan dan mulai mengelus-elus daerah perut di bagian bawah pusarku. Tubuhku bergoyang-goyang kegelian menahan serbuan tangan nakal Parjo yang sudah mulai merambah daerah selangkanganku.
"Joo.. Jang.. Jangannhh.. Ohh.." aku semakin mendesis antara menolak dan tidak.
Tangan Parjo yang nakal semakin liar mengaduk-aduk daerah sensitifku. Mulutnya kian gencar menyedot-nyedot leherku. Seolah tak peduli dengan rengekanku, Parjo terus saja bergerak. Kini tangannya bahkan mulai meremas-remas labia mayoraku yang sudah mulai basah berlendir.
Tubuhku tersentak saat jari tangan Parjo mulai menyusup ke dalam labia mayoraku dan mulai mengorek-korek tonjolan kelentitku. Digerakannya jarinya berputar-putar menggesek kelentitku. Kakiku seolah sudah tak bertenaga hingga tubuhku sudah tersandar sepenuhnya di pelukan Parjo. Sambil terus memutar-mutar jarinya di tonjolan kelentitku, Parjo mulai mendorong tubuhku dan diangkat untuk didudukkan di atas toilet rest room yang dingin itu. Aku yang sudah mulai pasrah hanya diam saja atas perlakuannya.
Parjo lalu melepaskan jarinya dari selangkanganku dan ia mulai berjongkok di hadapanku. Wajahnya berada dekat sekali dengan selangkanganku yang terbuka lebar.
"Aw.. Ohh.." tubuhku kembali tersentak saat tiba-tiba Parjo menyurukkan wajahnya ke selangkanganku dan mulutnya menyedot-nyedot bibir kemaluanku.
Lidahnya yang panas menerobos masuk di antara labia mayoraku dan mengais-ngais daging hangat lubang vaginaku. Tanpa sadar aku meremas rambut Parjo yang jabrik itu. Tanpa bicara, Parjo terus bekerja! Ya sedikit bicara banyak bekerja!! Ini benar-benar tepat untuk keadaan Parjo saat itu. Lidahnya kini mulai mempermainkan kelentitku yang sudah semakin mengembang. Perutku mulai kejang karena menahan kenikmatan yang hampir meledak.
"Shh.. Ouhh.. Shh.. Ter.. Rushh Jo.." bibirku tak henti-hentinya berdecap menahan kenikmatan yang mulai naik ke ubun-ubunku.
Aku yang tadinya berkata jangan, sekarang meminta Parjo untuk terus! Tanganku tanpa sadar merengkuh kepala Parjo agar semakin ketat menempel ke selangkanganku. Rupanya Parjo tahu kalau aku sudah hampir mencapai orgasme. Lidahnya semakin gila mempermainkan kelentitku. Bibirnya menyedot seluruh cairan yang semakin membuat vaginaku basah. Aku hampir saja mencapai klimaks saat tiba-tiba Parjo menarik kepalanya dari selangkanganku. Aku hampir saja terjatuh dari dudukku karena pantatku tanpa sadar bergerak maju mengejar wajah Parjo yang ditariknya.
Parjo benar-benar mempermainkan aku. Saat aku sudah menjelang orgasme, tiba-tiba ia menghentikan pekerjaannya yang belum tuntas. Napasku sudah ngos-ngosan karena didera nafsu. Parjo yang sudah berdiri di depanku mulai melepas gespernya dan memerosotkan celana sekaligus CD-nya hingga ke lututnya. Aku benar-benar terkejut melihat kontol Parjo yang luar biasa. Besar dan panjang.. Luar biasa. Aku ngeri melihatnya. Jangan-jangan vaginaku bisa jebol dibuatnya. Benar-benar sesuai dengan ukuran tubuhnya yang perkasa.
Kontol Parjo yang perkasa berdiri tegak mengacung ke arah wajahku yang terpaku melihatnya. Tanpa memberi kesempatan padaku untuk berlama-lama melihat kontolnya yang perkasa, Parjo segera menarik tubuhku dan membaliknya. Kini aku berdiri menghadap cermin. Kedua tanganku bertumpu di atas toilet yang tadi kududuki. Tangan Parjo yang kekar mendorong punggungku sedikit membungkuk hingga pantatku agak menungging. Lalu kedua kakiku digesernya agar lebih membuka.
Bulu-bulu di tubuhku mulai merinding saat ada benda hangat dan tumpul mulai bergesek-gesek di bibir kemaluanku mencoba masuk. Lubang vaginaku yang sudah licin sangat membantu penetrasi yang dilakukan Parjo dari arah belakang.
"Oghh.." kudengar Parjo menahan napas saat ujung kontolnya yang seperti topi baja mulai terjepit labia mayoraku. Aku pun tak mampu bernapas karena benda itu terasa sesak sekali mengganjal selangkanganku.
"Hkk.. Hh.. Shh.. Ouchh" aku mendesis tercekat.
Parjo agak kesulitan mendorong kontolnya masuk ke dalam lubang vaginaku yang agak kesempitan menerima serbuannya. Aku sendiri heran, aku yang sudah pernah melahirkan terasa seperti perawan saja saat ditembus batang kontolnya. Terus terang ukurannya jauh lebih besar dibandingkan dengan milik suamiku. Aku menjadi lupa diri saat itu. Yang kutahu aku harus menuntaskan gairah napsuku.
Berkali-kali Parjo terus mendorong batang kontolnya. Tanpa sadar aku ikut membantunya dengan menggeser pantatku hingga kontol Parjo terdorong masuk. Tubuhku bergetar karena seluruh lubang vaginaku seperti tergesek oleh besarnya kontol Parjo yang baru masuk kira-kira setengahnya saja.
"Ouchh.. Hhahh.." aku berkali-kali pula mendesis menahan nikmat yang kembali naik ke kepalaku.
Dengan pelan Parjo kembali menarik batang kontolnya dari jepitan lubang vaginaku. Didorongnya lagi hingga bertambah dalam batang itu menerobos masuk ke dalam lubang vaginaku yang sudah mulai bisa beradaptasi dengan besarnya kontol Parjo. Sekarang gerakan maju mundur batang kontol Parjo mulai lancar.
"Hugghh.." kami sama-sama menahan napas saat kurasakan seluruh batang kontol Parjo sudah masuk ke dalam jepitan lubang vaginaku hingga ke pangkalnya. Itu aku rasakan karena pantatku menempel ketat pada kantung biji telur kemaluan Parjo. Lubang vaginaku terasa berdenyut-denyut meremas batang kontol Parjo yang memenuhi lubang vaginaku. Panjang sekali batang kontolnya hingga mulut rahimku seolah-olah seperti tersodok benda tumpul. Tubuh kami terdiam seperti terpatok satu sama lain oleh pasak yang menyumpal lubang kemaluanku.
Tangan Parjo yang tadinya memegang kedua sisi pinggulku mulai menyusup ke dalam gaunku dan bergerak meremas kedua payudaraku. Tangannya yang kasar membuat tubuhku menggelinjang saat meremas payudaraku yang sudah terlepas dari BH-ku. Kait BH-ku memang ada di depan hingga mudah bagi Parjo melepas penjepitnya.
Mataku terpejam menahan desakan napsu yang mulai mendesak dari perutku. Dengan pelan Parjo mulai menarik batang kontolnya dari jepitan lubang vaginaku lalu mendorongnya kembali. Tubuhku mulai bergetar saat batang kontolnya menggesek-gesek seluruh dinding vaginaku.
Sambil berpegangan pada kedua payudaraku, Parjo terus mendorong dan menarik pantatnya. Gerakan batang kontol Parjo dalam lubang kemaluanku semakin lancar karena sudah banyak sekali cairan pelicin keluar dari lubang kemaluanku. Mulut Parjo yang tak henti-hentinya menjilati kudukku terasa semakin membuatku melayang ke awan tak bertepi.
Tangan Parjo yang tadinya meremas payudaraku dilepasnya dan menarik wajahku agar menengok ke belakang. Bibirku langsung dipagutnya dengan bibirnya yang tebal begitu wajahku menoleh. Lidah Parjo segera didorong masuk ke dalam mulutku dan mulai menggelitik rongga mulutku. Aku jadi ingat saat membaca majalah porno yang dibawa suamiku dulu. Ini rupanya yang disebut posisi 99. Baru kali ini aku merasakannya.
Posisi 99 dilakukan dengan kedua pasangan menghadap ke arah yang sama, laki-laki di belakang dan perempuan di depan. Penis laki-laki menusuk vagina atau anus si perempuan dari arah belakang, sementara tangan si lelaki meremas-remas payudara si perempuan dan keduanya saling berpagutan bibir. Indah sekali!!
Aku tidak pernah membayangkan kalau akhirnya aku melakukan hubungan seks dengan posisi seperti ini. Tangan Parjo kembali menyusup ke dalam gaun kerjaku dan mulai mengerjakan tugasnya meremas-remas kedua payudaraku. Bibirnya memagut bibirku dengan lidahnya mendorong-dorong lidahku. Sementara batang kontolnya terus menghunjam lubang vaginaku tanpa ampun. Berkali-kali rambut kemaluan Parjo yang kasar seperti habis dicukur menggaruk-garuk pantatku saat kontolnya melesak ke dalam lubang vaginaku hingga ke pangkalnya. Aku pun berkali-kali mengerang tanpa rasa malu-malu lagi. Aku memang selalu ribut kalau sedang bersenggama.
Tanpa harus diperintah, aku mulai menggoyangkan pantatku mengikuti irama tusukan kontol Parjo. Tubuhku mulai terhentak-hentak dan gerakan pantatku sudah tidak terkendali. Pantatku semakin cepat bergoyang dan mundur menyambut dorongan kontol Parjo hingga masuk sedalam-dalamnya ke dalam jepitan lubang vaginaku.
"Ter.. Rushh.. Joo.. Oohh" aku terus mendesis-desis tak terkendali. Tubuhku seolah melayang dan ringan. Parjo semakin cepat menarik dan mendorong kontolnya menghunjam lubang vaginaku. Aku tersentak. Perutku terasa kejang menahan desakan yang hampir meledak.
"Terushh Linn.. Terushh.." kudengar Parjo menggeram sambil menusuk-nusuk lubang vaginaku kian kencang. Lalu mulutnya kembali melumat bibirku dan tanpa dapat kutahan lagi tubuhku berkelojotan melepaskan ledakan birahi yang sudah tidak terbendung lagi. Aku menggigit bibir Parjo yang melumat bibirku. Pada saat yang sama, tubuh Parjo pun menggeliat dan tersentak-sentak seperti penari breakdance. Tubuh bagian bawah kami yang saling menempel menggeliat secara bersamaan. Pantatku yang menempel ketat dan seperti terpaku pada tulang kemaluan Parjo memutar tak terkendali.
"Arghh.. Shh.." seperti suar koor, kami berdua menggeram secara bersamaan.
Otot-otot vaginaku berdenyut-denyut mencengkeram kontol Parjo yang tertanam sepenuhnya didalamnya. Cratt.. Cratt.. Cratt.. Crat.. Crat.. Akhirnya kontol Parjo mengedut-ngedut dan hampir lima kali menyemburkan cairan hangat yang menyiram ke dalam mulut rahimku. Terasa begitu kencang semburan air mani Parjo menyemprot dalam lubang vaginaku. Kami terus bergerak hingga tuntas sudah air mani Parjo terperas denyutan lubang vaginaku.
Akhirnya kami sama-sama terdiam lemas tak berdaya. Napas kami saling memburu. Denyut jantungku berdentum setelah bekerja keras memburu kenikmatan. Aku yang kelelahan tak mampu bergerak lagi dan ambruk di atas toilet. Kubiarkan saja kontol Parjo yang masih menancap erat dalam lubang vaginaku. Tubuh Parjo pun ambruk menindihku. Pantatku tetap menempel ketat pada tulang kemaluannya. Aku merasakan betapa banyak cairan air mani yang disemprotkan Parjo ke dalam lubang vaginaku hingga sebagian meleleh ke pahaku.
Perlahan-lahan kontol Parjo mulai melembek dan akhirnya terlepas dari jepitan lubang vaginaku dengan sendirinya. Beberapa saat kemudian Parjo bangkit dan masuk ke WC. Kudengar suara gemericik air, mungkin ia sedang membersihkan kontolnya yang lengket oleh cairan kami berdua. Ia juga mengambil tissue dari WC dan kemudian membersihkan lelehan air maninya yang membasahi pahaku dengan telaten. Beberapa kali ia mondar-mandir ke WC mengambil tissue dan membersihkan semua cairan dari selangkanganku. Geli sekali rasanya saat tangannya yang kasar dengan nakal meremas-remas vaginaku saat membersihkan dengan tissue.
"Terima kasih Lin.. Sorry aku sudah tidak tahan ingin menikmati keindahan tubuhmu" ia tidak lagi memanggilku dengan ibu tapi langsung namaku begitu saja. Aku hanya terdiam. Aku sebenarnya menyesal juga telah melakukan pengkhianatan pada suamiku. Tapi semua sudah telanjur. Aku hanya mengangguk saja saat ia meminta maaf untuk yang kedua kalinya.
Aku merapikan pakaianku dan kembali ke ruanganku dengan langkah gontai akibat kelelahan setelah bersetubuh sambil berdiri tadi. Parjo pun segera membersihkan lantai dari lelehan air maninya yang tercecer di rest room itu.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 19.30 malam saat aku masuk ruanganku. Jadi hampir satu jam aku bersetubuh dengan Parjo di rest room tadi. Aku masih sangat lelah hingga tak mampu lagi berkonsentrasi dengan pekerjaanku. Aku hanya terpaku di depan mejaku menatap layar monitor yang tetap menyala.
Aku tersentak dari lamunanku saat HP-ku berdering. Kulihat di layar ternyata suamiku menelpon.
"Hallo mah.. Kemana saja kamu? Dari tadi kutelepon kok tidak diangkat?" terdengar suara suamiku di seberang sana.
"Oh.. Eh.. Anu.. Tadi aku ke toilet.. Habis perutku rasanya mulas setelah makan siang" jawabku mencari alasan yang tepat.
"Tapi.. Kamu enggak apa-apa kan?" terdengar suara Mas Edy agak khawatir
"Enggak apa-apa kok pah.." jawabku.
"Ya sudah kalau enggak apa-apa.. Mau pulang bareng enggak?" kata suamiku lagi.
"Enggak ah.. Aku masih mau lembur soalnya laporan musti selesai malam ini juga" aku yang memang berniat mau meneruskan pekerjaanku meminta suamiku tidak usah menjemputku.
Aku kembali menatap monitor yang menyala di depanku. Pikiranku belum bisa diajak berkonsentrasi. Aku sangat merasa bersalah telah mengkhianati suamiku yang begitu mencintaiku. Di sisi lain aku merasa ada rasa aneh saat mengingat kejadian tadi. Pikiranku masih melayang ke tempat lain saat ada tangan kuat memelukku dari belakang. Aku kembali tersadar dari lamunanku.
"Eh.. Su.. Sudah Jo.. Jangan lagi" aku berusaha berontak setelah aku tahu bahwa pemilik tangan kekar itu ternyata Parjo yang memelukku dari belakang.
"Enggak apa-apa Lin.. Aku sayang sama kamu.." bisik Parjo sambil memelukku. Aku tak mampu melawan Parjo yang sudah mulai bernafsu lagi. Apalagi tubuhku masih terasa lemas sekali sejak digoyang Parjo di rest room tadi.
Napas Parjo yang memburu terasa panas menghembus di leherku saat lidahnya mulai menjalar menjilati kudukku. Aku masih berusaha menghindar saat bibirnya berusaha mencium pipiku. Tetapi tangan Parjo yang kokoh segera memaksa wajahku menghadapnya dan bibirnya yang tebal segera melumat bibirku. Aku hanya mampu menutup bibirku erat-erat sebagai upaya penolakanku. Namun lidah Parjo tak putus asa berusaha menggesek bibirku dan menyusupkannya ke dalam mulutku. Akhirnya pertahananku bobol juga. Lidah Parjo berhasil menyusup ke dalam mulutku dan mulai mendorong-dorong lidahku. Tangannya yang kokoh mulai meremas-remas payudaraku dari luar gaun.
Mendapat rangsangan seperti itu, perlahan-lahan gairahku mulai bangkit lagi. Lidahku akhirnya membalas dorongan lidahnya hingga kami saling berpagutan. Sambil tetap menciumi lidahku, Parjo mengangkat tubuhku dan memondongku dibawa ke ruang meeting VIP yang khusus dipakai menjamu tamu VIP. Ruangan itu cukup luas dan dilengkapi dengan sofa yang empuk.
Tubuhku segera dihempaskan ke sofa itu dan kembali Parjo mencumbuku dengan ganasnya. Dengan sikap posesif, Parjo terus mencumbuku di ruang meeting VIP itu. Seluruh tubuhku mulai bergelora dan tergelitik. Tangan Parjo yang terampil mulai melepaskan kancing gaunku satu persatu. Sekarang aku hanya mengenakan rok ketat dan BH. Kembali Parjo menggumuliku di sofa empuk itu. Lidahnya yang tadinya menggelitik lidahku mulai bergeser turun ke leherku, sementara itu tangannya segera melepaskan pengait BH-ku dan melepaskan BH tersebut hingga tubuh bagian atasku sudah tanpa penutup lagi.
Lidah Parjo terus bergeser turun dari leher ke bahuku yang terbuka lebar. Tangan Parjo secara otomatis bergerak ke dadaku yang sudah terbuka dan bermain-main di sana. Kedua payudaraku terasa agak sakit karena Parjo meremasnya dengan kasar dan gemas.
"Ohh.." tanpa sadar aku menggumam saat kedua puting payudaraku yang didekatkan satu sama lain dilumat mulut Parjo dengan rakus secara bersamaan. Lidahnya yang kasar dan panas mempermainkan kedua puting payudaraku. Tubuhku terasa bergetar menahan gairah.
Aku tak henti-hentinya mendesis menahan geli dan nikmat saat mulut Parjo melumat payudaraku dengan gemasnya. Tangan Parjo lalu melepaskan satu-satunya penutup tubuhku. Rokku dilepasnya hingga aku betul-betul telanjang bulat. Aku baru kali ini telanjang bulat di kantorku sendiri. Aku berbaring telentang di sofa sambil tanganku berusaha menutupi selangkanganku karena jengah. Mata Parjo tak pernah lepas dari tubuhku ketika ia membuka pakaiannya satu demi satu.
Aku menahan napas melihat Parjo yang sudah telanjang bulat di depanku. Perutnya datar dan keras. Tungkai dan lengannya yang kokoh sangat lebat ditumbuhi rambut. Tubuhnya tegap berotot, urat-urat darah yang kuat terlihat jelas di lengannya. Parjo lalu duduk di dekat tubuh telanjangku.
"Tubuhmu seksi sekali Lin.." bisik Parjo di telingaku.
Tangannya segera bergerak mengelus dadaku. Ibu jarinya melakukan gerakan melingkar di atas payudaraku hingga membuatku menggelinjang kegelian. Tangannya lalu meraba perutku dan terus bergeser turun dan menyingkirkan tanganku yang menutupi selangkangan. Ditangkupkannya telapak tangannya di bukit vaginaku dan ditekankannya tangannya di sana sambil meremas pelan.
"Ohh.." aku hanya mendesis menahan gairah.
Parjo lalu menundukkan wajahnya dan merangkak di atasku dengan posisi terbalik. Mulutnya segera menyerbu payudaraku. Lidahnya menyapu-nyapu seluruh permukaan kulit payudaraku dan menyedot putingku dengan gemasnya. Tanpa sadar tanganku bergerak meremas-remas rambut kepalanya. Parjo pun semakin bersemangat begitu mendapat respons dariku.
Lidahnya terus merayap turun hingga ke perutku. Kini wajahku menghadap dadanya yang bidang. Mulutku yang menempel ketat di dadanya secara otomatis mulai merespons. Keringat Parjo yang berbau menyengat menjadi obsesiku. Aku tak menyia-nyiakan untuk merasakan keringatnya. Lidahku tanpa malu-malu lagi mulai menjilati puting dada Parjo yang hitam kecoklatan.
Lidah Parjo terus turun ke selangkanganku. Otomatis wajahku kini menghadap ke arah selangkangannya yang merangkak di atasku dengan posisi terbalik. Batang kontolnya yang berukuran super menggantung bergoyang-goyang di depan mulutku seperti terong. Karena ujungnya menyentuh-nyentuh mulutku, aku terusik untuk membuka mulutku dan mulai menjilati ujung topi bajanya.
"Ouchh.. Jo.." tubuhku tersentak saat lidah Parjo mulai menjilati vaginaku dan lidahnya menyeruak ke dalam lubang vaginaku menjilati dinding-dindingnya. Pantatku terangkat secara otomatis.
"Arghh.." Parjo pun melenguh saat mulutku menyedot-nyedot ujung kepala kontolnya yang sudah sangat keras.
Setelah puas saling menjilat dan mencumbu, Parjo membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku. Tangan Parjo segera menguakkan kedua pahaku lebar-lebar. Ia menempatkan tubuhnya di antara kedua pahaku dan mulai menyatukan tubuhnya ke tubuhku. Kulit Parjo yang sudah licin oleh keringatnya yang berbau menyengat tampak mengkilap. Titik-titik keringat bermunculan di kening dan lehernya. Parjo menghunjamkan tubuhnya dalam-dalam berulang kali ke dalam hingga kedua tulang kemaluan kami saling melekat satu sama lain.
Mulut Parjo segera melumat bibirku yang setengah terbuka karena merasa sesak napas saat selangkanganku terganjal kontol Parjo yang melesak ke dalam lubang vaginaku hingga ke pangkalnya. Dalam sekali rasanya hingga mulut rahimku terasa agak ngilu tersodok ujung kontolnya. Aku yang sudah sangat terangsang berusaha ikut bergerak mengimbangi tusukan-tusukan Parjo di selangkanganku dengan menggerakkan pantatku yang tercengkeram oleh kedua tangannya. Parjo terus mengayunkan pantatnya naik-turun di atas perutku dengan seluruh berat tubuhnya tertumpu di atas perutku. Dadanya yang bidang ketat menghimpit kedua payudaraku. Napasku terasa sesak sulit bernapas karena tertindih berat tubuhnya. Apalagi mulut Parjo yang masuk melumat bibirku berusaha menyedot-nyedot lidahku.
Aku bisa bernapas lega saat Parjo melepaskan kontolnya dari jepitan lubang vaginaku dan bangun. Ia duduk di tepi sofa dan mengangkat tubuhku agar duduk di pangkuannya. Tubuhku kembali direngkuhnya dan bibirku kembali dipagutnya dengan rakus. Aku yang duduk di atas pangkuan Parjo dengan mengangkangkan kaki di antara kedua pahanya tidak dapat bergerak karena kedua tangannya melingkar erat di punggungku dan menariknya ketat hingga payudaraku kembali tergencet dadanya yang bidang itu.
Kontol Parjo yang berukuran super itu tergencet di antara perutku dan perutnya sendiri. Lalu kedua tangan Parjo bergeser ke pantatku dan mengangkatnya hingga aku setengah berdiri menghadap ke arahnya. Kemudian satu tangannya mengarahkan ujung kepala kontolnya dan diarahkan ke selangkanganku. Tubuhku diturunkannya dengan pelan hingga sedikit demi sedikit ujung kontolnya mulai terbenam kembali ke dalam lubang vaginaku.
Aku menahan napas saat batang kontol Parjo mulai terjepit dinding lubang vaginaku dan melesak ke dalamnya. Seluruh bulu tubuhku merinding karena batang kontolnya yang begitu besar serasa menggesek seluruh celah dinding vaginaku.
"Ahh.." hampir secara bersamaan kami menghela napas lega saat seluruh batang kontol Parjo akhirnya masuk tertelan lubang vaginaku. Pantatku terasa geli tertusuk-tusuk rambut kemaluan Parjo yang agak tajam karena dicukur cepak. Aku merasa geli karena kantung telur Parjo yang lunak dan hangat menempel ketat di bawah pantatku.
Dengan dibantu kedua tangannya yang kokoh yang menyangga kedua buah pantatku, tubuhku bergerak naik turun di atas pangkuan Parjo. Kontolnya yang terjepit ketat dalam lubang vaginaku menggesek seluruh relung dinding vaginaku. Aku harus menggigit bibirku kuat-kuat agar dapat menahan kenikmatan yang mulai menggerogoti sumsum tulang belakangku.
Parjo menundukkan wajahnya dan segera menyurukkannya ke dadaku yang berayun-ayun seiring dengan gerakan tubuhku yang seperti menari-nari di atas pangkuannya. Kedua payudaraku dilumatnya dengan bibirnya yang tebal bergantian. Lidah Parjo yang kasar dan panas mengilik-ngilik puting payudaraku yang dijepitnya dengan bibirnya. Aku merasa seperti melayang menerima rangsangan ganda seperti ini.
"Ohh.. Joo.." tanganku segera merengkuh kepala Parjo dan menekankannya ke dadaku. Perutku mulai merasa kejang-kejang. Gerakanku mulai tak terkendali di atas pangkuan Parjo. Dinding vaginaku terasa mulai berdenyut-denyut meremas kontol Parjo yang terjepit di dalamnya. Gerakanku semakin liar dan kepalaku seperti tersentak ke atas.
"Terrushh Joo.. Oohh" aku menjerit panjang saat ada sesuatu yang pecah di dalam perutku. Aku sudah tidak mampu menahan jebolnya gairahku. Pantatku berputar liar di atas pangkuan Parjo seperti ingin menggesek dan menggerus kontolnya yang terbenam di dalamnya. Tangan Parjo membantuku memutar pantatku. Aku melayang dan terhempas ke tempat kosong.
Napasku tinggal satu-satu. Lelah sekali rasanya tubuhku. Aku terkulai lesu di atas pangkuan Parjo. Kedua tanganku memeluk erat lehernya untuk menuntaskan sisa-sisa kepuasan yang benar-benar melelahkan. Dinding-dinding vaginaku mengedut-ngedut selama beberapa saat lalu aku terdiam dan ambruk di atas pangkuan Parjo.
Parjo memberiku kesempatan untuk mengatur napasku dengan membiarkan aku terkulai di pangkuannya. Kontolnya yang masih sangat keras tetap kokoh memaku lubang vaginaku.
"Masih capai Lin..?" bisik Parjo di telingaku.
"He.. Eh.." aku tak berani melihat wajahnya karena malu, soalnya tadi aku menolak tetapi akhirnya aku berhasil ditundukkannya. Aku malu sekali padanya.
Perlahan-lahan Parjo mengangkat tubuhku dari pangkuannya. Serr.. Nikmat sekali saat batang kontolnya yang tadi menyumbat lubang kemaluanku tertarik keluar menggesek dinding vaginaku. Aku sempat melirik batang kontol Parjo yang begitu basah dan licin mengkilat karena hasil orgasmeku tadi. Aku lalu disuruhnya merangkak dengan menghadap ke sofa. Parjo berlutut di belakang tubuhku yang membelakanginya.
Tubuhku menggelinjang saat lidah Parjo mulai menjalari tulang belakangku. Lidahnya menjelajah seluruh permukaan kulit punggungku. Bulu romaku dibuat merinding oleh ulahnya.
"Ughh.." aku melenguh pelan saat mulut Parjo membuat gigitan ringan di atas pinggulku. Otot-otot perutku serasa ditarik karena rangsangan itu. Mulut Parjo tidak berhenti di situ. Mulutnya terus bergeser turun hingga kini kedua buah pantatku digigit-gigitnya dengan gemas. Seluruh tubuhku bergetar menerima perlakuannya. Apalagi saat lidah Parjo mulai menyapu-nyapu daerah sekitar lubang anusku.
"Ja.. Jangan Jo.." namun terlambat. Aku tidak mampu mencegah saat lidah Parjo mulai menusuk-nusuk dan mengilik-ngilik lubang anusku. Geli sekali rasanya. Pantatku tidak dapat bergerak karena dicengkeram kedua tangannya yang kokoh. Aku hanya bisa pasrah dan menikmati jilatan lidahnya di lubang anusku.
Setelah puas menikmati lubang anusku dengan lidahnya, Parjo mulai mengarahkan kontolnya ke lubang vaginaku. Ia menusuk vaginaku dengan kontolnya di antara kedua buah pantatku. Aku harus menahan napas lagi saat kepala kontolnya mulai menerobos lubang vaginaku. Agak perih dan ngilu rasanya.
Lubang vaginaku mulai mengeluarkan cairan pelicin lagi saat Parjo mengocoknya dengan ujung kepala kontolnya yang digesek-gesekkan di antara bibir vaginaku. Hal ini membuat tusukannya bertambah lancar.
"Ughh.. Hkkhh" Parjo menggumam saat seluruh kontolnya berhasil masuk ke dalam lubang vaginaku. Aku pun dapat bernapas lega setelah seluruh batang kontolnya melesak masuk. Ia terdiam beberapa saat menikmati denyutan dinding vaginaku yang melumat kontolnya.
Nafsuku kembali bangkit saat Parjo berkali-kali memaju-mundurkan pantatnya menarik dan mendorong kontolnya di dalam lubang vaginaku. Aku kembali tergerak menikmati tusukan-tusukannya dengan ikut menggerakkan pantatku. Pantatku maju mundur berlawanan arah mengikuti irama tusukannya. Jika ia menarik mundur aku maju dan jika ia maju aku mendorong pantatku ke belakang menyongsong tusukannya. Plok.. Plok.. Plokk.., begitulah setiap kali pantatku beradu dengan tulang kemaluannya selalu terdengar suara seperti tepukan. Kedua payudaraku berguncang-guncang setiap kali vaginaku disodok kontol Parjo.
Darahku mulai menggelegak terbakar nafsu. Tangan Parjo yang tadinya mencengkeram kedua buah pantatku sekarang berpindah dan meremas kedua payudaraku yang berguncang-guncang. Jari-jarinya memilin kedua puting payudaraku.
"Ohh.. Joo.. Ter.. Russhh.. Terushh" tanpa malu-malu lagi aku mendesis meminta Parjo terus memompakan kontolnya. Pantatku yang tadinya maju-mundur kini bergerak memutar seolah hendak memeras. Dinding vaginaku kembali berdenyut-denyut. Aku memejamkan mataku berusaha menahan ledakan yang sudah hampir sampai. Aku berusaha menahan lebih lama lagi. Kelentitku yang sudah mengembang tergesek-gesek oleh tusukan kontol Parjo yang perkasa.
"Ohh.. Joo.. Arghh.." aku mengerang panjang. Aku sudah tidak mampu bertahan lagi. Siksaan gejolak napsu itu terlalu kuat untuk kutahan. Aku harus menyerah lagi untuk yang kesekian kalinya, padahal aku yakin Parjo belum apa-apa. Tubuhku terasa ringan sekali. Otot perutku mengejang dan tubuhku meliuk melepaskan orgasmeku. Aku terus bergerak menuntaskan orgasmeku lalu ambruk di sofa. Kubiarkan saja kontol Parjo menancap di lubang vaginaku. Aku sudah terlalu lelah untuk bergerak.
Aku hanya pasrah saat Parjo menarik tubuhku dan membaringkannya di karpet ruang meeting room itu. Tubuhku ditelentangkannya dan kedua kakiku dipentangkannya lebar-lebar. Aku berusaha menutupi lubang vaginaku yang menganga dengan tanganku. Aku risih juga karena bagian tubuhku yang paling pribadi dipelototi mata Parjo.
Parjo kembali merangkak di atas perutku dan menindihku. Kontolnya yang licin karena lendir orgasmeku kembali ditusukkannya ke lubang vaginaku. Kepala kontolnya agak mudah tergelincir masuk ke dalam jepitan lubang vaginaku karena memang sudah sangat licin. Ia terus mendorong pantatnya hingga seluruh kontolnya amblas ke dalam vaginaku.
Dengan bertumpu pada kedua lutut dan sikunya, Parjo mulai mengayunkan pantatnya naik turun di atas tubuhku. Batang kontolnya dengan sendirinya bergerak keluar masuk menusuk-nusuk lubang vaginaku. Aku masih belum mampu bergerak. Kubiarkan saja Parjo sibuk sendiri di atas tubuh telanjangku.
Bibir Parjo yang terus menerus menciumi bibir lalu leher dan turun lagi ke payudaraku membuat nafsuku kembali bangkit. Lidahnya yang terus bermain-main di kedua puting payudaraku dan tusukan-tusukan kontolnya kembali memaksaku menggerakkan tubuhku.
"Hmmghh.. Ughh.. Ughh.." mulut Parjo terus saja mendengus seperti kerbau gila. Ayunan pantatnya semakin kencang menghantam vaginaku. Ia terus bergerak memacuku. Berkali-kali mulut rahimku tersodok-sodok ujung kontolnya. Ngilu bercampur nikmat berbaur menjadi satu. Keringatnya telah semakin membuat tubuhnya licin. Aroma keringatnya yang maskulin benar-benar membuatku mabuk karenanya.
Aku semakin tidak mampu bergerak karena berat badan Parjo seolah bertumpu pada perutku. Kedua tangannya berpindah mengganjal kedua buah pantatku dan mencengkeramnya kuat-kuat. Bibirnya kini melumat bibirku dan lidahnya menggesek-gesek langit-langit mulutku. Pantatnya kian cepat memompa menghantam vaginaku. Aku merasa darahku mulai menggelegak. Perutku kembali mengejang pertanda akan mencapai klimaksku lagi.
Aku berusaha memutar pantatku yang dicengkeram kedua tangan Parjo dengan sisa tenagaku. Gerakan pantatku memutar menyongsong tusukan kontolnya yang menderu-deru. Vaginaku mulai mengedut-ngedut dan mataku seolah mulai terbalik menahan nikmat. Aku terus bergerak menyongsong nikmat. Gerakanku dan gerakan Parjo semakin liar tak terkendali. Kami sama-sama mendengus dan mengerang.
Tangan Parjo yang meremas kedua buah pantatku terasa lebih kuat. Pantatnya terus menghunjam selangkanganku. Tubuhku menggeliat dan tersentak. Pantatku terangkat saat aku merasa ada suatu ledakan di dalam perutku.
"Arrgghh.. Ter.. Rushh.. Terushh.. Oughh" mulut Parjo terus memintaku mempercepat putaran pantatku. Aku terus berusaha bergerak.
"Ohh" aku merintih panjang bersamaan dengan geraman Parjo.
Mulut Parjo melumat bibirku kencang sekali saat ujung kontolnya menyemburkan mani ke dalam mulut rahimku. Crrt.. Crtt.. Crrt.. Crrtt.. Crutt.. Hangat sekali rasanya saat mulut rahimku tersembur air maninya. Tubuh Parjo ambruk di atas perutku. Kami sama-sama terkulai lemah setelah bertempur habis-habisan.
Aku tidak jadi lembur hari itu. Aku berulangkali disetubuhi Parjo dengan berbagai posisi di ruang meeting VIP itu hingga loyo. Ruang meeting VIP yang biasa digunakan menemui tamu-tamu VIP sekarang kami gunakan untuk saling memiting dan menuntaskan gejolak nafsu liar kami.
Aku keluar kantor dan pulang ke rumah hampir jam 23.30 malam itu. Perselingkuhanku dengan Parjo kembali terulang karena ia mengancamku akan menceritakan affairku dengannya kepada teman-temannya bila aku tidak mau melayani keinginannya. Hampir dua minggu sekali Parjo minta jatah dariku baik itu di kantor saat sepi, di rest room atau di penginapan yang terdekat.
Sejak saat itu aku menjadi kekasih gelap Parjo, office boy di kantorku. Ia dan aku telah berjanji untuk merahasiakan hubungan kami dan akan bersikap wajar di depan orang lain. Ia juga berjanji tidak akan menggangguku bila aku sedang di rumah atau sedang bersama suamiku.
*****
Nah, demikianlah kisah dari seorang pembaca yang menyebut dirinya Linda. Pesan dan komentar bagi yang bersangkutan akan saya forward ke email Linda. Bagi pembaca lain yang ingin berbagi kisah dalam situs ini tetapi merasa sulit menuangkannya dapat saya bantu asalkan anda bisa bersabar. Silakan emailkan kisah anda ke alamat email saya di bawah.
E N D
Minggu, 16 November 2008
Gairah Nakal Seorang Perawan Tua
Namaku Bagus Hermanto. Kini aku berumur 25 thn. Aku mengenal seks sejak umur 18 thn. Diajari oleh Mbak Wiwik Widayanti, mahasiswi S2 yang kos di rumahku, di Yogya. Tentu saja secara bertahap, dari pegang-pegang sampai.., tahu sendirilah. Pokoknya butuh tempo sampai 2 bulan baru bisa merasakan hubungan seks tang sebenarnya, bersetubuh dengan Mbak Wiwik.
Setelah itu aku mencoba segala macam wanita, dari pelacur sampai wanita baik-baik. Rasanya sih, aku sudah mempunyai banyak pengalaman. Sudah mengerti semua. Cuma aku tidak pernah merasa kenyang, itu saja problemku.
Semua keyakinan diri itu akhirnya berubah ketika aku memperoleh kenikmatan hubungan badan dengan Mbak Indriani, seorang akuntan yang masih lajang dari suatu kota di Jateng yang pernah menjadi atasanku di tempat kerjaku di Jakarta.
Mbak In, memang tidak tergolong cantik seperti layaknya bintang sinetron. Umurnya 42 tahun. Kulitnya hitam manis, tingginya sekitar 160 cm, mempunyai bentuk badan yang langsing dan mempunyai payudara yang kecil namun indah menantang. Dulu rekan-rekan di kantorku, termasuk para wanitanya, secara sembunyi-sembunyi menyebut dia sebagai "si kulkas". Soalnya dingin, pasif dan tidak hot. Pokoknya dia tidak masuk dalam daftar seleraku.
Tapi suatu hari di akhir tahun 1999, aku berjumpa lagi dengannya. Gara-garanya VW kodokku mogok di dekat rumahnya, sebuah paviliun di Kebayoran Baru itu. Saat itu hujan deras lama sekali. Aku menelepon taxi Blue Bird tapi tidak datang.
"Ya udah tunggu dulu aja, sambil ngobrol soalnya udah lama kita nggak ketemu", katanya.
Mulanya kita ngobrol biasa. Taxi yang saya pesan belum juga datang. Padahal sudah jam 9 malam. Mbak In menawariku tidur di rumahnya saja, di sofa ruang tamu. Akupun setuju atas tawarannya, daripada repot, pikirku.
Lalu kami ngobrol ngalor-ngidul. Setelah makan malam, kami masih bercerita tentang banyak hal. Sampai akhirnya aku lancang nanya, "Kok Mbak tetep melajang sih?".
Diapun cerita bahwa dirinya memang malas untuk menikah karena masih suka sendiri dan bebas. Buktinya dia bisa hidup tanpa pembantu. Semua dikerjakannya sendiri. Kecuali pakaian tertentu yang dilaundry.
"Wah serba swalayan ya", kataku.
"Termasuk soal tertentu yang khusus juga", katanya sambil ketawa.
Aku kaget juga. Yang dia maksudkan pasti seks. Soalnya setahuku dia tidak pernah berbicara tentang seks, makanya dia dijuluki si kulkas.
Jam 11 malam aku mulai mengantuk. Mbak In meminjamiku celana dalam dan kaos oblong (keduanya masih baru, berukuran XL, karena itu sebetulnya oleh-oleh dari Bali untuk temannya), dan memberikan sikat gigi baru serta handuk, lalu dia masuk ke kamarnya sendiri.
"Selamat beristirahat. Kalau butuh pengantar tidur nyalakan terus saja TV-nya, tapi jangan keras-keras. Kalo kamu mau baca-baca ya silakan aja, Gus", katanya.
"Makasih Mbak, good night", kataku.
Setelah mandi, aku sendirian di ruang tamu itu. Sudah menjadi kebiasaanku kalau mau tidur harus diiringi oleh musik kaset/CD, atau radio, kadang juga TV. Lalu me-ngeset timer-nya sekitar satu jam sampai akhirnya aku tertidur. Tapi malam itu aku susah sekali untuk tidur. Mau membaca tapi mataku lelah sekali. Akhirnya akupun menyalakan TV, tapi acaranya jelek-jelek.
Akhirnya iseng-iseng aku dekati rak audio-video. Aku periksa ternyata CD playernya berisi tiga keping. Karena remang-remang aku tidak tahu itu CD audio atau VCD. Aku kembali ke sofa. Remote control compo dan TV aku bawa. Setelah aku klik remote-nya barulah ketahuan kalau isinya VCD. Lantas aku putar, lalu muncul opening scene.
Aduh!, Ternyata isinya BF, Judulnya aku lupa, tapi isinya berupa kumpulan adegan klimaks, jadi bukan cerita utuh. Asyik juga.., isinya cuplikan dari banyak film. Pembukaan pertama oral seks sampai air maninya keluar. Aku belum tegang, masih tetap tenang. Adegan berikutnya mirip, begitu seterusnya, hingga adegan penis dimasukkan sampai dicabut waktu air maninya mau kaluar. Aku juga belum ereksi, hal ini di sebabkan karena aku sudah lelah dan mengantuk. Lagipula menonton VCD porno sudah sering kulakukan. Jadinya agak kebal juga.
Nah, potongan terakhir VCD itu dahsyat juga, sehingga membuat penisku menggeliat. Adegan 69. Yang banyak disorot bukan felatio (cewek mengisap cowok), tetapi cunnilingus (cowok mengisap vagina cewek). Aku sampai ereksi menyaksikan adegan tersebut, sehingga adegan itu ada yang aku ulangi sampai beberapa kali. Aku ingin menikmati sampai puas sebelum si cowok di layar TV itu orgasme, sementara aku sendiri berharap bisa orgasme bersamaan dengan gambar di layar tersebut, karena aku mengelus-elus penisku sendiri. Aku perhatikan cara si cowok melayani si cewek. Hebat juga sampai ceweknya mennjerit-jerit.
Ketika adegan berganti, si cewek mengocok penis cowoknya sembari mengisap, mendadak ada tawa kecil di belakangku. Aku kaget, malu dan salah tingkah karena Mbak In sudah berada di belakangku. Yang bisa kulakukan saat itu cuma mematikan TV-nya, bukan VCD playernya. Lalu aku diam dan menunduk. Tapi Mbak In memegang pundakku dan berkata, "Kamu suka juga ya rupanya. Nggak apa-apa sih kan udah dewasa".
Aku senyum, dan tidak berani melihat mukanya.
"Gus", katanya, "Kamu udah sering gitu juga kan? Aku tahu kalo beberapa cewek di kantor kita dulu ada yang pernah kamu kencani..".
Aku menatapnya. Mbak In ternyata cuma memakai lingerie satin putih tipis, berupa rok dalam pendek tanpa lengan dan celana dari bahan dan warna serupa.
"Kenapa tuh kolormu, kok ada yang berdiri?".
Ah.., aku makin salah tingkah. Aku tersipu, karena penisku masih tegak.
"mm.., aku.., aku.., aku.., Mbak", cuma itu yang bisa kuucapkan, sembari aku bangkit dari posisiku yang tadi tiduran di atas sofa.
Kemudian Mbak In duduk di sebelahku. "Aku tadi sempet tertidur sebentar. Tapi gara-gara petir aku terbangun, dan nggak bisa tidur lagi", katanya.
"Lantas aku dengar suara TV masih nyala. Tapi suaranya kok ah.., uh.., ah.., uh. Aku buka pintu pelan. Kamu nggak tahu ya?".
"Ya Mbak", kataku.
Kali ini aku sudah mulai tenang. Pantas saja aku tidak tahu kalau dia keluar dari kamar, pikirku. Soalnya kamarnya gelap, jadi waktu pintu dibuka tidak ada cahaya yang menerobos keluar.
"Aku liat diam-diam, ternyata kamu lagi asyik ngeliat itu ya. Aku liat tadi di adegan berikutnya kamu mengulang-ulang adegan, dan tanganmu meraba-raba celanamu..".
"Ya Mbak", cuma itu yang aku ucapkan.
"Yuk, putar lagi", ajaknya.
"Nggak ah, malu", balasku.
"Nggak apa-apa, Gus" katanya, lalu mengambil remote dari tanganku. TV menyala lagi. Lantas dia mengambil remote compo, dan memutar CD kedua.
"Tuh liat", katanya.
Judulnya "Modern Kamasutra". Isinya tidak ganas. Serba lembut.., tidak ada close up penis masuk vagina, tidak ada close up ejakulasi mengenai payudara.
Selama 15 menit kami menikmati CD itu dengan diam, sampai kemudian Mbak In berbisik, "Ajarin aku dong Gus. Aku kan nggak pernah", katanya sambil memelukku.
Aku cuma bergumam, "mm..".
"Keluarin semua ilmumu dan pengalamanmu.., Gus..".
"Kok gitu sih Mbak?".
"Iya dong.., Kamu ajarin aku dong..".
"Emang Mbak nggak berpengalaman?".
"Stt.., kamu kayak nggak tahu aja. Aku ini masih perawan, makanya sering disindir sebagai perawan tua. Aku juga tahu julukan si kulkas, Gus", kali ini dia semakin merapat.
"Ajarin aku supaya nggak jadi perawan tua lagi. Ajarin aku biar aku jadi wanita yang lengkap, pernah merasakan nikmatnya pria tanpa harus bersuami dan tanpa harus punya anak, Gus.., Biar lajang tapi matang, gitu Gus".
Aku terdiam tidak yahu harus berbuat apa, aku melihat ke layar TV. Ah.., adegannya indah sekaligus gila. Mulanya 69, dan pakai close up tapi gambarnya tetap soft, seperti memakai filter. Lantas si pria memasukkan penisnya dari belakang. Lalu 69 lagi. Lalu si cewek berada di atas. Sebentar saja dia sudah meloncat, duduk di muka si cowok, minta dioral, lalu menindih lagi, duduk lagi, menindih lagi, duduk lagi, menindih lagi, entah berapa kali, sampai akhirnya orgasme. Ketika si cowok berdiri, si cewek mengisap dan mengocoknya. Aku tegang sekali, terangsang oleh adegan di layar.
"Ajarin aku sayang. Tunjukin kebisaanmu yang telah membuat cewek-cewek di kantor kita ketagihan..". Tangannya memegang kedua pipiku, "Please..".
Entah kenapa aku seperti terhipnotis. Aku peluk dia, kucium pipinya, lalu keningnya. "Ya Mbak. Tapi aku lagi capek, setelah main squash tadi, jadi mungkin nggak memuaskan Mbak".
"Aku nggak minta macam-macam. Cuma diajari. Semacam apresiasi, gitulah..".
"Ya Mbak. Tapi VCD dan TV-nya dimatiin ya", pintaku.
Mbak In mencubit pipiku, lalu mencium kedua pipiku. "Boleh..".
"Mbak In pingin yang gimana sih?".
"Terserah. Pokoknya kamu harus membimbingku, ngajarin aku.., Aku sendiri nggak tahu apakah malam ini akan melepas keperawananku, tapi yang jelas aku pingin dapet sebuah pengalaman yang penting bagi seorang wanita dewasa, yang berumur 40 lebih..".
Aku terharu, merasa kasihan. Wanita pendiam dan dingin bagai kulkas ini ternyata menginginkan pengalaman erotis. Wanita yang tidak pernah bicara jorok dan cerita humor porno ini (tidak seperti cewek lain di kantornya) ternyata menginginkan sesuatu.
"Ayo Gus. Ajarin aku, bimbing aku.., Kasih tau aku harus gimana saja. Kamu kan lelaki sejati. Kamu udah punya jam terbang banyak. Tunjukin itu..".
"Ya, Mbak", kataku seraya mencium keningnya. Mbak In memejamkan mata. Kurasakan hangat tubuhnya.
"Katakan apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan pengalaman pertama yang indah, Gus. Lengkapi diriku sebagai seorang perempuan yang dewasa..".
Aku mengangguk lalu memeluknya, dan mengelus rambutnya yang sekarang dipotong pendek itu. Aku merasa kelelakianku ditantang dengan halus. Inilah kelebihan wanita. Masih perawanpun tahu bagaimana caranya menggerakkan hasrat pria.
TV sudah mati. Aku berdiri, menghampiri rak audio. Di dekatnya kutemukan CD Romantic Night, musik instrumental lembut. Itu yang aku putar. Lalu aku kembali ke sofa menghampiri Mbak In.
"Mbak", bisikku.
"mm.., beri aku pengalaman, Gus. Matangkan aku. Jangan mempermalukan aku. Aku telanjur ngomong ini. Aku belum pernah minta beginian pada laki-laki. Aku memilih kamu soalnya aku percaya sama kamu. Kamu dulu karyawan yang nggak reseh, bukan trouble maker, dan gentleman. Aku tahu kamu telah meniduri beberapa cewek di kantor kita, tapi kamu nggak pernah mengumbar affairmu. Kenapa aku bisa tahu, yah tahu sendiri.., mayoritas kantor kita kan cewek, dalam 15 wanita cuma ada 1 pria".
Aku merasa percaya diri. Aku peluk Mbak In erat.
"Apa yang harus aku lakukan, Gus? mm ya, mestinya apa yang harus kamu lakukan? mm, maksudku apa yang akan kamu lakukan.., mm kok pake nanya. Mestinya tinggal dijalanin ya.., mm.., mm Gus..", kali ini dia seperti kebingungan mau berkata apa. Kukecup keningnya.
"Mbak pingin merasakan sesuatu yang indah? Mbak sendiri punya fantasi apa sih?".
"Banyak. Tapi aku malu ngomonginnya. Terserah kamu dah", katanya sedikit bermanja. Aneh juga, aku merasa senang dimanja oleh perempuan yang lebih tua. Yah inilah kelebihan wanita, yang bisa membuat lelaki merasa berharga dan dibutuhkan.
"Aku ini menarik nggak sih Gus?".
Aku mengangguk. Lalu kubisiki, "Lebih menarik dan indah kalo sekarang Mbak pake lipstik dan parfum dikit..".
Dia segera berdiri, mencubit pipiku, lalu ke kamar. Tidak lama kemudian dia memanggil, "Sini Gus..".
Aku masuk ke kamar. Dia sedang duduk di meja rias. Aku memeluknya dari belakang. Bau wangi menyergap pelan ke hidungku. Bibirnya sudah terolesi lipstik. "Cakep Mbak". kataku.
"Bener?", jawabnya manja.
Mbak In berdiri. Aku kemudian duduk di belakangnya. Di muka cermin berlampu itu aku dapati Mbak In dengan pesona kewanitaan yang bertambah. Seorang wanita berumur 42 thn yang matang. Ajaib juga, aku bisa tertarik malam ini. Tanganku memeluk pinggangnya dari belakang.
"Gini ini ya yang dilakukan para istri?".
"Aku nggak tahu. Aku belum beristri, dan nggak pernah main dengan istri orang".
Kemudian aku berdiri, tetap di belakangnya, dan tangan tetap memeluk pinggangnya. Aku cium lembut pipinya dari belakang. Lalu bibirnya, pelan dan lembut, dengan gesekan mengambang.
"Aku belum pernah dicium cowok Gus", bisiknya.
"Ouhh..", lenguhnya. Aku melihat ke cermin. Dia juga. Wajahnya tersipu.
"Merem saja Mbak", kataku. Dia menurut. Tanganku tetap di pinggang. Kuamati dari cermin, matanya terpejam. Lalu kucium lembut lehernya.
"Ihh..", cuma itu suaranya.
Lantas kucium telinganya. Ah ya.., inilah kelebihan wanita, meskipun dia masih perawan nalurinya tahu bagaimana memancing syahwat lawan jenis. Bagian belakang telinganya itu sudah wangi. Aku merasa nikmat. Lalu kucium lehernya, telinga lagi, leher lagi, pipi, bibir, telinga, leher, dan akhirnya tengkuk.
Tangan kiriku tetap memeluk pinggang dari belakang. Tangan kananku naik ke pusar. Dari cermin kulihat puting Mbak In mulai mengeras, menembus lingerie satin yang di kenakannya.
"Nah gitu dong ngajarinnya, Gus", bisiknya.
Dari cermin berlampu itu kulihat pancaran kewanitannya terus bertambah. Aku tidak menyadari si kulkas ini ternyata memikat. Pagutan ke bibir, leher, telinga dan tengkuk mulai kulancarkan. Tubuh Mbak In mulai bergetar. Dia tetap terpejam. Dengan pelan seolah tak sengaja aku raba puting kirinya. "Uhh", dengusnya. Kurasakan debar jantungnya meningkat. Lantas hidungku dan mulutku mulai mengecup bahunya yang terbuka, karena baju atas lingerienya itu cuma bergantung pada tali. Dia menggeliat.
"Geli tapi nikmat. Kamu pinter Gus", bisiknya, tetap terpejam.
Kini kedua tangannya memegangi tanganku. Matanya masih terpejam. Kutatap sosok wanita ini dari cermin berlampu (hanya itu yang menyala di kamar, karena lampu lain mati). Kudapati sesuatu yang selama ini, selama mengenalnya, tidak pernah kuperhatikan. Aku kan sudah bilang, Mbak In bukan tipe yang masuk daftar seleraku.
Kini kudapati sesuatu. Mbak In ternyata menarik, punya pesona kewanitaan yang kuat. Kulitnya tidak putih tapi bersih. Tubuhnya langsing, tapi tidak bisa disebut kerempeng. Lekuk tubuhnya masih terlihat dan terasa. Mukanya bersih, tanpa bekas jarawat. Garis matanya memanjang seperti wayang. Alisnya tebal merata. Bibirnya mungil. Bau nafasnya nikmat.
Oh.., apakah yang berubah pada diriku? Kenapa tiba-tiba aku bisa menikmati dan menghargai pesona kewanitaan Mbak In? Karena terangsang, toh dari tadi aku ereksi? Bukan juga. Aku sudah sering bermain dengan wanita. Semuanya kuawali dengan keterpesonaan, terlepas wanita itu cantik sekali atau sedang-sedang saja. Yang pasti sejak aku kenal Mbak Wiwik, yang merenggut keperjakaanku saat aku remaja, seleraku hanya seputar itu, wanita berkulit putih, dengan buah dada besar. Tapi Mbak In? Ah, aku tidak tahu. Aku seperti merasakan pengalaman baru.
Tangan Mbak In masih memegangi tanganku. Sekarang matanya terbuka. Dia tersenyum. Aku kecup bibirnya, lembut lalu pipinya, telinganya, tengkuknya.
"Apa lagi sekarang, Gus?", bisiknya.
Kulepaskan pegangan tangannya lalu kutuntun untuk melingkarkan tangan kanannya ke belakang, ke leherku, karena aku kan berdiri di belakangnya. Kucium lehernya.., Kurasakan debar jantungnya, dan bunyi nafasnya yang mengeras.., sepertinya dia bernafas dengan mulut. Lantas aku beralih ke bahunya yang terbuka. Kuangkat tangan kirinya untuk memegangi tengkuknya sendiri.
Saat kutatap cermin, kulihat sesuatu yang luar biasa. Bulu ketiak Mbak In ternyata lebat sekali. Aku terkesiap. Wow!, seperti tak percaya melihat bulu hitam rimbun itu menghiasi bagian bawah lengannya. Kuangkat tangan kanannya. Sama lebatnya. Wow! Ajaib! Aku belum pernah melihat ketiak selebat itu. Lagi pula aku selama ini memang tidak tertarik dengan ketiak yang berbulu, terkesan jorok dan tidak feminin. Tapi kali ini? Wuahh.., kurasakan debar di dadaku, kurasakan aliran darahku meningkat. Berubahkah aku?
Ya! Ketiak lebat ternyata memikat. Suatu hal yang selama ini membuatku risih ternyata merangsang. Dengan pelan aku raba kedua ketiak itu.
"Nggak pernah dicukur ya Mbak?", Mbak In menggeleng dengan tersenyum.
"Biarin. Entah kenapa aku nggak merasa terganggu. Kamu tahu, dulu di asrama, waktu masih kuliah, aku dijuluki Ratu Ketiak. Karena sejak tahun kedua kuliah aku nggak mencukurnya. Buatku ini bukti kebebasanku, bukti ketidakpedulianku pada apa yang menurut orang lain pantas..".
Lalu kucium ketiak berbulu itu. Wow! Fantastik! Bau asli tubuh bersih menyergap hidungku, karena wanita yang mengerti tentang parfum memang tidak pernah memberi parfum di ketiaknya, kecuali deodorant. Bau ketiak wanita (asal tidak kelewat keras), itu yang aku sukai dari cewek-cewek yang kukencani selama ini. Kali ini bau alami itu bertambah dengan bulu lebat, sepanjang hampir 5-6 cm. Pantas dulu disebut Ratu Ketiak.
Dari ketiak kanan aku pindah ke ketiak kiri. Sama aroma dan sensasi bulunya dengan yang kanan. Aku terangsang sekali. Ukuran terangsang bukan cuma soal ereksi seberapa keras dan panjang, tapi juga gelora di dalam diri. Sejak tadi aku ereksi, tapi yang sekarang makin ditambah peningkatan nafsu. (Nah para cewek, pahamilah itu..)
Dengan hidung dan mulut di ketiak kirinya, kedua tanganku meraba kedua puting susunya. Keras sekali. Aku pegang lembut payudaranya yang kecil itu. Kenyal sekali. Ini sensasi baru buatku, karena aku tidak pernah tertarik dengan payudara kecil. Aku tidak bisa ereksi oleh payudara mungil. Bila berkencan dengan perempuan aku selalu memilih yang mempunyai payudara besar, ukuran 34 keatas (beberapa kali aku dapat yang ukuran 38C). Payudara Mbak In sepertinya di bawah 34. Tapi kok merangsang ya? Nafsuku semakin berkobar. Ibarat bendera, mulai berkibar-kibar. Hanya gara-gara bulu ketiak dan payudara kecil (suatu hal yang belum pernah terjadi).
Akhirnya baju atas lingerie itu kulepas. Dan wow! Kudapati payudara kecil yang kencang, dengan puting mengeras. Puting itu berwarna gelap, tapi begitu merangsang bagiku. Aku selama ini mengencani wanita berkulit putih, termasuk bule, sehingga puting mereka berwarna terang, kalau bule malah kemerahan.
Aku remes pelan kedua payudaranya. Mbak In cuma ah-uh-ah-uh. Kuciumi lehernya, tengkuknya, telinganya, bahunya, dan ketiaknya, sambil mempermainkan puting dan payudaranya.
Lalu aku duduk di kursi dekat meja rias. Aku ciumi puting dan payudaranya, dan kemudian aku kecup puting itu sehingga makin mengeras. Kudengar pinggul Mbak In berkeletek, berbunyi tanda kontraksi otot saat wanita mulai disulut birahi.
"Mbak, aku terangsang. Aku suka ketek dan bulu Mbak, tetek dan puting Mbak..".
Mbak In tersenyum. "Ajarin lagi aku sesuatu yang baru", katanya.
Kupandangi tubuh kencang yang sekarang tinggal bercelana dalam satin tipis. Baru aku sadar, di bawah pusarnya tampak segitiga menggelap. Itu pasti bulu vagina. Aneh, aku jadi penasaran, ingin segera melihatnya. Padahal selama ini aku tidak suka melihat bulu vagina yang lebat. Pernah waktu di panti pajit nafsuku jadi mengendor karena si cewek mempunyai bulu vagina yang lebat. Si cewek panti pijat sempat tersinggung, karena nafsuku jadi merosot gara-gara bulu vaginanya yang lebat. Akhirnya aku cuma meminta si pemijat untuk mengocok penisku, sembari aku membayangkan salah satu cewekku yang bulu vaginanya super tipis, hingga aku ejakulasi di payudara pemijat itu.
Aku selama ini memang risih dengan bulu lebat. Dalam pandanganku jorok, tidak sehat, cuma menimbulkan bau dan penyakit. Tapi kali ini begitu bernafsu ingin tahu, Mbak In rupanya tahu.
"Kamu pingin liat lainnya yang lebat ya? Boleh..".
Aku menggeleng. Dia mengerutkan kening. Aku tersenyum, "Entar Mbak..".
Yang kulakukan sekarang adalah menciumi pusarnya lalu turun ke bawah, tanpa membuka celana lingerienya, sampai kurasakan bulu tebal tergesek satin dan hidungku.
Setelah itu kusisipkan jariku ke celananya. Kurasakan ketebalan bulu vaginanya yang lebat. Jariku seperti buta sejenak, tidak tahu kemana harus meraba clitoris dan labia majoranya.
Oh, jadi inilah pesona bulu vagina yang tebal, bisa menyembunyikan vulva. Cewek-cewek yang pernah kukencani berbulu vagina tipis, malah ada yang cuma beberapa lembar, sehingga begitu mengangkang sedikit saja, vulvanya langsung terlihat jelas. Dan itulah yang aku sukai. Itu yang membuatku ereksi. Bau khas vaginanya juga mulai menyergap hidungku. Aku kian terangsang.
Akhirnya jemariku mulai mengenal medan. Tahu mana yang clitoris, mana yang labia majora, mana yang labia minora. Lebih dari itu, jemariku basah sekali, seolah baru saja terendam di mangkok. Lingerie itupun basah, sehingga semakin menempel ke vulva, dan bulu lebat itu makin kentara. Pinggul Mbak In terus berkeletekan, kontraksi karena terangsang.
"Kamu terlalu, Gus. Terlalu.., Ayo buka celanaku", katanya.
Dipeganginya kepalaku, dijambaknya rambutku yang gondrong, lalu digesek-gesekkan ke lingerie yang basah kuyup dengan aroma yang kian kentara itu.
"Aku terangsang Gus..".
Tiba-tiba dia mundur, menjauhkan kepalaku. Tak terasa aku sudah berlutut sejak tadi rupanya. Dengan cepat dia melepas sisa lingerie-nya, dan mencampakkannya ke lantai berkarpet. Wow! Luar biasa, bulu lebat membentuk segitiga seperti celana dalam. Lalu aku naikkan kaki kanannya ke kursi rias. Wah! Luar biasa. Kelebatan bulu vaginanya menutupi vulva. Aku sibak bulu vaginanya, lalu tampaklah vulva yang berwarna gelap, kecoklatan, bukan kemerahan, bukan coklat muda. Aneh! Aku kok bisa terangsang. Padahal kalau melihat gambar porno perek melayu yang berkulit hitam, meskipun payudaranya besar, toh vulvanya gelap. Dan itu menjijikkanku. Tapi kali ini aku terkesima. Aku sibak dan belai bulu vaginanya yang sedikit basah. Begitu pula vulvanya. Vulva seorang perawan matang yang mengkilap.
Aku terus memandanginya. Kutunda sekuat tenaga untuk tidak segera mengecup dan menjilatinya. Karena aku ingin menikmati pengalaman baruku secara bertahap dengan pelan. Dengan jempol kuraba clitorisnya yang menyembul keras dan gelap itu.
"Auwww..", Mbak In bersuara.
Astaga! Jadi inilah clitoris si Mbak. Coklat tua, ada merah tuanya. Besar juga clit-nya. Aku putar pakai jempol.
"Ihh.., gila kamu Gus!".
Lalu jari telunjuk dan jari tengahku menjepit clitnya dan memutar-mutarkannya.
"Gila.., ghuillaa.., waohh", desahnya.
Nafasku mulai memburu. Mbak In juga. Aku ambil break sejenak. Mundur, duduk, kaki selonjor di lantai, kedua tanganku di lantai menyangga badan. Saat dia akan menurunkan satu kakinya, aku bilang, "Jangan dulu Mbak.."
Kuamati tubuh di depanku itu. Barulah kusadari pancaran kewanitaannya. Tubuh Mbak In memang kencang. Dalam umur 42 masih bagus badannya, karena masih perawan, belum pernah melahirkan. Lebih dari itu dia memang rajin senam dan fitness, begitupun renang. Sempat terbayang bagaimana ketiaknya terlihat kalau dia senam dan renang. Tubuh langsing padat, payudara kecil kencang, bulu vagina lebat merambat.
"Mbak aku pingin liat ketiak Mbak lagi..", pintaku.
Dia mengangkat kedua lengannya. Bayangkan. Satu kaki di kursi, kedua lengan terangkat, dada busung tegak. Oh indahnya. Oh wanita dewasa. Oh wanita matang. Oh wanita lajang. Oh wanita perindu kehangatan lelaki. Oh wanita matang lajang kesepian yang hanya berfantasi setiap hari sambil mendidihkan birahi untuk dirinya sendiri.
"Apa lagi sekarang Gus?".
"Mbak aku mau liat vulva Mbak..".
"Boleh. Nih liat..".
Wow! Tangan kanannya turun, lantas jemarinya merentang labia majora. Merah tua menggelap, tapi bagian dalamnya merah menyala. Begitu basah dan berkilau. Lendir yang encer terlihat jelas.
Sesaat aku menikmati pemandangan yang belum pernah kualami itu. Tangan kanan menyibak vulva, lengan kiri terangkat memamerkan ketiak lebat.
"Mbak jilat sendiri Mbak..".
Ah, dia mau melakukannya. Jemari itu dijilatinya, lalu digesekkan lagi ke vulva, jilat lagi, beberapa kali. Aku tidak tahan, lalu berdiri. Penisku kian mengeras, sehingga celana dalamku seperti menyimpan senjata. Ada setitik basahan di situ. Itu tetesan pertama maniku. Aku menghela nafas. Lalu melepas kaos.
"Tunjukin dong penismu" kata Mbak In, lalu duduk di kursi rias itu. Aku mendekat.
"Badanmu bagus, Gus. Atletis".
Aku bersyukur, mempunyai tinggi 175 cm dengan berat 75, dan otot yang masih kencang.
Lalu dia meraba celanaku, lalu tonjolan penisku. Kemudian memelorotkan celanaku. Tuingg! Begitu celana dalamku merosot, maka batang penisku turun, tertarik ke bawah sesaat, untuk kemudian tegak mendongak. Dia memandangi penisku.
"Pegang Mbak", kataku.
Mbak In nggak langsung menggenggam. Tapi merentang jempol dan kelingkingnya seperti mengukur panjang.
"Kayak pisang", katanya.
Lantas jempol dan telunjuknya melingkari pucuk penisku. Jarinya lentik, kukunya panjang terawat. Sexy juga ternyata. Kemudian dia menggenggamnya, tidak terlalu keras, sesaat saja, lalu dilepas.
"Hangat ya..", bisiknya mesra.
Kami sama-sama mengambil nafas. Aku menjauh sedikit. Baru sekarang terasa dinginnya AC kamar. Tapi aku tidak mau terburu-buru. Aku ingin mengulur tempo dan menikmatinya lebih lama, soalnya kan lagi ngajarin Mbak In.
"Ke sofa lagi yuk Mbak", ajakku. Dia tersenyum. Lalu aku gandeng. Kami duduk berdua. Berhadapan. Aku cium bibirnya, dan kemudian matanya.
"Haus Mbak", bisikku.
"Iya Gus.., tenggorokanku juga kering".
Mbak In berjalan menuju kulkas, mengambil orange juice kemasan botol. Kami minum bergantian dari botol yang sama. Lalu bersandar ke sofa, sama-sama diam. Tidak terasa sudah satu setengah jam lebih berlalu sejak acara pembukaan di cermin rias tadi. Nafasku kembali normal. Tapi penisku kembali mengendur, memang begitulah alam mengaturnya.
"Kok jadi kecil lagi?".
Aku tersenyum, "Memang gitu Mbak. Entar gede lagi. Mbak juga mengecil lagi klitnya pasti. Cairan vagina juga berhenti ngalir kan?". Dia mencium pipiku.
"Sini Mbak", kataku.
"Gimana lagi?", dia keheranan.
Dia kuminta untuk berdiri, kemudian aku dudukkan di pangkuanku. Tangan kananku menyangga punggungnya, tangan kiriku menyangga kakinya. Seperti membopong sambil duduk. Kami berciuman. Lipstiknya mulai menipis.
"Apa sih yang kamu sukai dari tubuhku Gus?". Aku menjawab dengan menciumi lehernya.
"Geli, nikmat, ahh..".
Kemudian dia kubalikkan, menghadap ke depan, tetap dalam pangkuanku di sofa. Aku pegang payudaranya. Aku mainkan puting susunya.
"Ternyata Mbak In itu hangat ya?".
"Bukan kulkas, gitu?".
"Iya. Mbak juga penuh pesona kewanitaan".
"Bener?".
"Mbak ternyata punya nafsu..".
"Iya dong", ia berbisik.
"Mbak suka masturbasi juga?".
"Iya dong. Seminggu sekali, bisa dua kali, pernah tiga kali. Aku tahu masturbasi sejak umur 20, dulu sih 3 minggu sekali. Akhirnya mulai umur 30 gairahku malah bertambah. Kadang aku bayangin temen-temen cewek itu, udah kenal penis umur 20, sampai sekarang udah bersetubuh berapa kali coba? Sementara aku cuma bisa masturbasi".
"Mbak mau dimasturbasi nggak?". Dia mengangguk.
Lalu kakinya kukangkangkan, dengan posisi tetap jongkok di pangkuanku. Aku ajak dia bekerja sama, jemari dan telapak tanganku untuk memainkan vulvanya, tapi yang menggerakkan tanganku adalah tangannya. Luar biasa. Aku jadi tahu bagaimana si Mbak memburu nikmat. Mulanya memainkan clit. Lantas labia majora. Mulanya gerakannya pelan. Akhirnya kencang, maju-mundur, berputar-putar, sampai tanganku pegal.
Lima belas menit berlalu, si Mbak sudah mendesis-desis, sampai akhirnya tubuhnya mengejang sejenak. Kuambil telapakku, aku ciumi dengan hidung dan mulut. Basah penuh aroma.
Mbak pingin apa sekarang?".
"Ouhh.., pake nanya. Terserah..".
Dia kuberdirikan. Aku berlutut di depannya. Aku cium paha kanannya, lalu kiri, lalu kanan, lalu pusarnya. Dia cuma ah-uh-ah-uh saja. Aku ulangi terus, kira-kira lima menit lamanya.
Akhirnya dia tidak sabar lagi. Kepalaku ditarik olehnya, lalu mukaku ditempelkan ke bulu vaginanya. Aku cuma menggesek-gesek hidung di rumput lebat itu. Lantas dia mengangkat satu kakinya di sofa, kaki yang lain tetap berdiri menyangga tubuhnya di lantai. Dengan pelan aku gesekkan hidungku ke clit-nya, lalu labia majoranya. Aku merasakan vulva-nya yang kian basah itu. Aku bisa merasakan bahwa bertambah basahnya vulva Mbak In bukan karena saliva-ku, akan tetapi terlebih karena dari lubang vagina itu memang membanjir cairan encer. Begitu banyak cairan yang merembes, sehingga aku bisa menghirup sambil menyedotnya. Slurping, kata orang bule.., Segar juga. Mungkin inilah jamunya seorang pria, cairan vagina wanita lajang yang masih virgin.
Mbak In tidak kuat dengan perlakuanku, kakinya sampai gemeter, lalu dia duduk di sofa. Kepalaku menyeruak masuk. Kedua pahanya kuangkat pakai tangan. Kini dia duduk bertambah maju sedikit. Kedua kakinya terangkat, sampai bagian belakang lututnya bertumpu pada pundakku. Aku julurkan lidahku di depan vulvanya yang basah itu, cuma di depannya, belum menempel. Masih jauh, malah. Kira-kira sejengkal dari sasaran. Aku diam terus sambil menjulurkan lidah. Mbak In jadi gemas dibuatnya.
"Cepet dong. Kamu jahat, Gus. Aku udah nggak tahan..".
Ya, tunggu apa lagi? Dengan kedua jempolku aku rentang labia-nya. Merah tua kecoklatan, mengkilat basah. Clit-nya mengeras, seperti biji kacang garing. Ah nggak, clitoris manis ini seperti kacang mete, begitu pula ukurannya.
Dengan pelan kutempelkan ujung lidah ke clitorisnya yang mulai keras itu. Cuma menempel, tidak kugesekkan, tidak kujilatin.
"Auhh.., geli.., nikmat.., terus dong", katanya.
Sekarang lidahku mulai bermain. Clit itu aku jilati. Tubuhnya bergetar. Lidahku terus menjelajah ke labia majora, ke seluruh vulva, sampai banjir permukaan vaginanya, karena campuran saliva dan cairan vagina. Dia terengah-engah.
"Ouhh..", Mbak In cuma bersuara begitu. Pertama-tama Mbak In aku minta mengocok penisku sampai tegak sempurna. Lima menit kemudian penisku tegang kembali. Air maniku sudah mendidih rasanya. Aku rebahan di ranjang. Mbak Indriani di atas, meniduriku.
"Ayo Mbak tindih aku, pelan-pelan aja, digesekin tuh memek Mbak, kayak onani".
Dia menurut saja. Naik turun, maju mundur, akhirnya kini vagina Mbak In telah telah basah. Penisku basah. Sudah deh, tidak ada foreplay lagi. Yang penting kini vaginanya sudah basah. Kemudian aku biarkan sendiri nalurinya sebagai wanita dewasa yang matang menuntun birahinya yang menyala-nyala semerah dinding dalam liang vaginanya.
Mula-mula penisku cuma masuk dua senti. Seret dan licin. Asyik juga. Mbak In merem melek. Cabut lagi, masuk lagi. Vaginanya semakin basah. Lubang vaginanya makin longgar. Kudorong lagi hingga bertambah 1 senti. Mbak In merem melek. Kuulang-ulang terus, aku lupa berapa kali, sampai akhirnya "slepp..", burungku menembus pelan vagina si perawan tua yang selalu membuatku onani setiap hari itu.
"Nggak sakit Mbak?", tanyaku.
"Nggak", bisiknya.
Iya dong, mainnya pelan, vagina sudah longgar dan banjir, mana bisa sakit. Soal memuaskan wanita, aku mempunyai banyak pengalaman. Meski tidak keluar darah, tanpa rasa sakit, aku yakin inilah kali pertama vagina terhebat di dunia ini kemasukan penis.
Dengan jari kuelus permukaan vaginanya. Dia menggelinjang. Dua jempolku kembali menempel di kedua sisi bibir vaginanya, sehingga bisa merentang mulut vagina.
"Namanya apa sih Mbak?", aku menggoda.
"Bego kalo kamu nggak tahu!".
Aku terus menggoda, "Namanya apa sih? Sebutin dong, Mbak..".
"Payah kamu! Udah sering ngerasain, sering nyoba, masih nggak tau juga".
Aku diam saja, nggaktidak melakukan tindakan pada pemandangan di depan mukaku itu.
"Apa dong Mbak namanya?".
"Tauk ah!".
"Apa dong?".
"Dikira-kira sendiri. tau?".
"Apa dong?".
"Ahh.., bawel amat sih!".
"Apa dong.., lleelelelhett.., sebutin dong llelelelelhet", aku menggodanya sembari memainkan lidah di labia dan kclit.
"Auhh.., gila. Nakal".
"Apa dong, clat, clat, clatt..", lidahku semakin nakal, lalu aku hentikan.
"Kamu sendiri nyebutnya apa Gus?".
Aku jawab, "Vulva, ada klitorisnya, ada labia majora dan minoranya..".
"Uh kayak guru biologi aja, Gus. Pake nama latin segala..".
"Habis apa dong..".
"Malu ah.., udah tahu kan? Tabu buat disebutin, tapi aku sering ngebayangin juga sih..".
"Kok ngebayangin?".
"Iya, kalo lagi masturbasi aku sering mendesis-desis nyebutin kata-kata tabu, sambil memacu diri menuju orgasme bersama pria seksi.., Rasanya pingin ngelepasin semua hambatan gitu. Kamu ini mulai mancing ya?".
"Maksud Mbak?", aku tanya sembari menjilati bagian basah itu.
"Iyah, aku kan sering ngebayangin hal-hal yang terlarang termasuk ucapan-ucapan terlarang. Jadinya kalo lagi on, waktu masturbasi, ya nyebutin satu demi satu bagian terlarang.., Ahh kamu nakal, lidahmu pintar, udah sering yahh. Aduh.., geli!".
"Hmm.., ayo dong Mbak..".
"Iyahh sekalian basah, sekalian dibuka deh rahasia ini. Kalo lagi masturbasi aku sering nyebutin ini.., Aahh geli, nikmat terusin.., Aku sering nyebutin ini.., Ah kamu nakal!".
Iya, gimana bisa ngomong lengkap, kalau mulutku semakin aktif dan binal menggarap pusat kewanitaannya?
"Aku sering berbisik, kadang juga berteriak, sih.., Itil, memek, jembut, burung, mani, itil, memek, burung, jembut, Gus!".
"Lagi Mbak..", Aku senang mendengar kata-kata tabu itu.
"Memek, iyaa.., me..mheekk.., iitt..theeiill.., jemm boutt.., kuonn..tuuoll.., Gila nikmat banget teknik oralmu!".
"Ini Mbak burungku!" Aku berdiri, aku mengacungkan penisku ke mukanya.
"Woouwww.., tambah gede. Udah ngerasain berapa memek nih?".
"Pegang Mbak.." Dia memegangnya. Lalu mengelus. Akhirnya mengocok pelan.
"Isep dong..".
"Ah nggak. Entar ajah.., Aku masih takut..".
Aku tidak mau main paksa. Aku sadar sedang mengajari cewek mengenal pengalaman pertama. Biar umurnya sudah matang, tapi pengalaman masih nol. Lalu Mbak In kuminta jongkok di mukaku, sementara aku rebahan di karpet, kepalaku diganjal bantal.
"Sekarang Mbak yang aktif ya.., anggap aja lagi onani..".
Wow! Tanpa penjelasan lebih lanjut dia langsung memainkan kemaluannya di mukaku, terutama di hidung dan mulutku. Namanya saja naluri? Biar tidak pengalaman, masih perawan, tapi kalau usia sudah matang, juga dia sering nonton film porno, sehingga tidak rikuk lagi menghadapi hal tersebut. Mbak In jadi pintar dalam waktu sekejap. Kadang dia jongkok mengambang, sehingga kemaluannya cuma mengambang di mukaku, tapi kadang juga menekan seperti menduduki wajahku. Begitu banyak cairan membajir dari liangnya.
Sekitar 10 menit hal itu berlangsung. Maju mundur, geser kanan kiri, berputar, begitu terus. Sampai akhirnya.., "Ahh gila.., mhemm..mhekkuu.., itt..tillku.., Auhh.., Memek! Itil! Ayo jangan berhenti.., aku nggak kuat Gus!".
Ah ini dia awal orgasme hebat. Tubuhnya mulai mengejang. Lalu kedua lutut Mbak In tergetar. Tidak ada suara dari mulutnya. Kemudian tubuhnya membungkuk. Dan akhirnya setengah telungkup di atas tubuhku. Kurasakan cairan vagina terus membanjiri wajahku, memasuki hidungku, tertelan oleh mulutku. Tubuh Mbak sudah basah oleh peluh.
"Terima kasih, Gus..", bisiknya.
Dia menggelindingkan tubuh di sampingku. Nafasnya tersengal-sengal. Aku bangun berdiri. Dia masih rebahan. Kupandangi tubuhnya yang mengkilat, dengan kaki mengangkang dan lengan terentang hingga ketiaknya yang lebat itu tampak. Ah indahnya kejalangan seorang Mbak In!
Dia memandangi penisku yang teracung tegak. Aku pegang batangku. "Jangan sekarang", katanya. Aku mengalah. Padahal nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun.
Lantas Mbak In kubimbing untuk berdiri, duduk di sofa, dan aku ambilkan minuman untuknya.
"Thanx..", katanya.
"Mbak capek?", tanyaku. Dia mengangguk.
"Sini aku pijitin", kataku.
Dia menurut ketika aku telungkupkann tubuhnya di sofa. Aku mulai memijat kakinya, lalu pinggangnya, dan punggungnya.
"hh.., nikmat.., kamu pinter, Gus".
Saat itu penisku mulai mengendor. Nafsuku mulai berkurang.
Sekitar seperempat jam itu kupijati dia. Kini giliran mulut dan hidungku menciumi punggungnya, pinggangnya, pantatnya, dan entah apa lagi, pokoknya oral seks kupraktekkan lagi. Lendir mengalir membanjir. Penisku menegang lagi. Beberapa tetes mani beningpun keluar karena tidak tahan oleh birahiku yang kian menggila.
"Aku basah Mbak", kataku.
Mbak In menoleh melihat penis tegakku yang pucuknya basah. Dia terbelalak. Lagi-lagi posisi tadi berulang. Bau keringat dan cairan vagina bercampur. Aku tidak tahu sudah berapa cc menghirup lendir encer yang keluar dari lubang vagina si perawan tua ini. Beberapa kali dia mengejang. Mungkin empat kali. Dan puncaknya adalah, "Mememekku Guss.., Itiillku.., nggak tahan. Itillkuu mauu lepass.., Auh!".
Dia orgasme hebat. Vaginanya seperti menyempit tiba-tiba.
Kami sama-sama lelah. Lalu beristirahat.
"Mandi air hangat yuk", kataku.
Kami ke kamar mandi, menyegarkan diri dengan shower. Tanpa percumbuan, tanpa birahi, tanpa nafsu. Saling menyabuni dan mengeramasi. Penisku sudah mengecil.
"Lucu ih", kata Mbak In sembari meremas penisku yang terkulai. Lalu kami tidur. Berpelukan dalam kamar sejuk ber-AC. Dengan segera aku terlelap karena kecapean.
Kami tertidur, sudah jam 3 pagi lebih. Capek dan ngantuk sekali. Ototku seperti terurai. Kami berpelukan di ranjang Mbak In, ranjang perawan tua yang selalu kesepian, menjadi saksi tiap kali si lajang onani karena diamuk birahi, menjadi saksi tiap kali beberapa helai bulu vaginanya rontok saat digusel oleh tangannya sendiri.
Di kamar ber-AC itu kami terlelap. Aku benamkan wajahku di ketiaknya yang lebat. Entah jam berapa aku tidak tahu karena Mbak In membangunkanku.
"Ini apaan? Kamu ngompol yah?", tanyanya. Ternyata sprei telah basah oleh maniku, sebagian menyentuh pantat Mbak In.
"Ini maniku Mbak. Habis tertahan terus sih di dalam akhirnya cari jalan keluar sendiri. Aku sih nggak tahu, soalnya lagi tidur tadi", kataku tersipu.
"Ih hangat dan lengket ya", katanya.
"Bayangin aja kalo ini mengalir ke memek Mbak", kataku.
"Nakal kamu", dia mencubitku.
Dengan tissu kubersihkan ceceran maninya. Setelah itu aku tertidur lagi karena masih mengantuk. Mbak In sepertinya juga tertidur.
Pagi hari, ketika sudah agak terang, aku terbangun. Ternyata Mbak In sudah mandi, lagi make up di depan cermin.
"Aku harus masuk kerja", katanya. "Padahal capek nih" lanjutnya.
Kupandangi dari ranjang. Tubuh yang kencang itu kuamati dari belakang. Inilah pesona si perawan tua. Dia cuma memakai celana dalam dan BH-nya hitam tipis mungil berenda. Oh, seksi sekali! Tak terasa penisku berdiri lagi.
Aku bangkit dengan senjata teracung. Aku hampiri Mbak In. Kupeluk dari belakang. Aku ciumi lehernya, ketiaknya sambil tanganku mengelus payudaranya yang kecil.
"Ah, jangan Gus, aku lagi make up nih.., nanti rusak make up-ku".
Aku membisikinya, sambil menjilati telinga kirinya, "Janji deh Mbak make up nggak rusak, tapi dapet kenikmatan yang banyak diperoleh para cewek di kantor Mbak pada pagi hari..".
Oh, aku kian merapat ke tubuhnya. Tapi tidak bisa mencium pipi dan bibirnya, takut kalau make up-nya rusak. Yang penting bisa menikmati bulu ketiaknya yang luar biasa itu dengan hidung dan mulutku. Penisku semakin tegak berdiri. Tanganku mengelus puting susu si perawan tua yang makin mengeras ini.
"Kamu terlalu, Gus", bisiknya.
"Terlalu nikmat ya?", tanyaku.
Aku terus memeluk dari belakang. Tanganku menggusel payudara mungilnya yang keras, payudara 42 tahun yang tidak pernah merasakan kenakalan lelaki muda. Hidungku merasakan sensasi gila yang luar biasa, bulu ketiak yang hitam lebat dan panjang.
"Ketek gini kok dianggurin bertahun-tahun sih Mbak", tanyaku.
"Dianggurin gimana?", tanyanya.
"Ya dianggurin dalam arti nggak pernah diciumin laki, nggak pernah digosokin burung".
"Heh, burung main di ketek? Bisa? Coba dong..".
Make up-nya Mbak In sudah selesai. Sekarang dia duduk di kursi rias, lantas kedua lengannya diangkat sehingga bulu ketiaknya tampak jelas. Penisku yang tegang, aku gosokkan ke ketiaknya. Wuahh.., hangat, lembbut, seperti menyentuh bulu vagina. Mbak In melihatku dengan pandangan mesra. Penisku semakin besar dan mengeras. Ingin sekali rasanya minta penisku dicium, dijilat lalu dihisap olehnya. Tapi nanti dulu, si perawan tua ini harus dilatih. Kalau serba mendadak bisa trauma nanti dan jadi alergi dengan penis.
Akhirnya aku tidak tahan juga. Rasanya maniku sudah mendidih. Belum pernah aku onani memakai bulu ketiak, dulu aku tidakak suka dengan cewek yang ketiaknya berbulu. Karena tidak sabar aku gesekkan penisku ke ketiaknya sambil kukocok.
"Mbak aku udah nggak kuat, bayangin dari semalem cuma nahan burung supaya nggak masuk memekmu, jadi gimana dong..". Mbak In tersenyum.
"Mbak, bantu dong Mbak", pintaku. Tangannya meraih penisku lalu mengocoknya pelan.
"Cepat Mbak. Dia menurut. Terus Mbak..".
"Aduh pegel nih.., gantian tangan kiri ya..", Aku tidak bisa berkata apa-apa cuma mengangguk. Air maniku yang mendidih tadi tidak jadi keluar. Yang pasti rangsangan yang kuterima semakin kuat.
Mbak In mulai berkeringat. Uh, tambah cantik melihat si perawan tua yang berberbulu ketiak lebat ini berpeluh. Ketiaknya juga basah, payudaranya juga.
"Tanganku capek..", katanya. Ya sudah aku kocok sendiri penisku.
"Kamu pingin apa Gus?", tanyanya.
Aku bilang, "Pokoknya pingin nikmat, tuntas, sampe orgasme dan maniku terkuras abis".
"Tapi aku belon siap buat bersetubuh. Memekku belon siap dirobek selaputnya. Belon siap disembur cairan lelaki..", katanya manja.
"Yah gimana Mbak, aku nggak bisa mikir nih". Mbak In jongkok. Mengamati dari dekat caraku mengocok penis. Mulutnya ternganga.
"Oh gitu ya.., gila..", katanya. Aku sudah tidak tahan.
"Awas Mbak mau muncrat nih!", Mbak In terbelalak.
Aduh bagaimana kalau mani ini nanti kena mukanya, kena bibirnya. Dia kan masih perawan. Vaginanya saja belum pernah disembur mani, kok muka dan mulutnya, kasihan..
"Terus Gus!", katanya.Tangannya menyingkirkan tanganku.
"Biar aku aja", katanya. Aku nurut saja.
Tangan lembut berjemari lentik itu mengocok penisku pelan-pelan. Aku sudah tidak tahan.
"Cepetan Mbak!", kataku. Dia semakin cepat mengocok penisku.
"Mbak angkat dong lengan kiri. Aku mau lihat ketiakmu yang lebat itu..".
Jadilah dia jongkok sambil mengangkat lengan memamerkan ketiak hebat yang berbulu luar biasa. Aku semakin bernafsu. Akhirnya aku cuma bisa berkata, "Awass..". Dan "Crat.., crat.., crat", air maniku muncrat keras, banyak, dan kental. Mbak In sempat menarik muka menjauh, tapi payudaranya yang mungil dan kencang itu terkena semprotan air maniku.
"Uh, yang namanya mani ternyata hangat ya..".
Dioles-oleskannya air maniku ke seluruh payudaranya.
"Kok lengket ya.., Kayaknya superglue, hihihik.., Gimana kalo misalnya masuk ke memekku.., Ih aku harus ganti beha nih..".
Mbak In masih terheran-heran oleh air maniku, benda yang baru dilihatnya ketika usianya sudah 42 thn. Dalam ruang ber-AC mani yang teroles rata di payudaranya cepat mengering.
"Wahh.., ini rupanya krim pengencang tetek. Di kulit kenceng rasanya, Gus..".
"Buat facial juga bisa Mbak. Makanya di VCD selalu ada facial cumshot..".
"Ih, nakal deh kamu", katanya sambil mencubit pipiku.
Aku capek sekali. Terima kasih Mbak In sayang, perawan tuaku. Pagi itu kami berangkat bersama dan sepakat untuk ketemu lagi buat belajar seks. Kami sering bertemu. Jalan-jalan, makan, nonton, seperti orang pacaran. Lalu ya biasalah main seks tanpa persetubuhan. Hal itu berlangsung 5 bulan. Kami bertemu seminggu 2 kali. Oral seks itu rutin. Hanya aku yang melakukan oral seks pada dia, dianya sendiri tidak pernah melakukan oral pada penisku. Ini prestasi buatku. Kencan sudah hot, tapi tidak ada persetubuhan. Vagina Mbak In bisa dijilat dan dihisap sampai kering, tapi keperawanannya masih tetap terjaga. Air maniku sudah bocor berkali-kali, tapi tidak setetespun yang menyelinap ke cervix si lajang hangat bernafsu kuat itu. Maka hanya cunnilingus (tanpa diimbangi felatio) yang selalu berlangsung.
Tak apa. Aku sendiri suka bisa mengerem nafsu, sekaligus belajar memperoleh kepuasan tanpa menancapkan penis ke lubang vagina yang tiada henti mendambakan kenikmatan, lubang vagina yang sebetulnya memendam iri pada vagina wanita lain yang sering dijejali penis dan ditumpahi mani hangat. Tapi, yah.., vaginanya saja belum kena penis, masak mulutnya sudah dimasukkin penis, Kasihan kan? Pemanasan kami tentu dengan nonton BF di VCD. Aku kan punya banyak koleksi film BF. Juga dari majalah.
Ternyata Mbak In si perawan tua ini punya beberapa majalah hot. Katanya sih seperti surat kaleng mendapatkannya. Diposkan ke rumah tanpa nama pengirim. Dia menduga dari cewek-cewek di kantornya yang baru saja pulang dari luar negeri. Majalah itu menjadi bahan onaninya Mbak In. Atau juga onani kami berdua. Muncratnya air maniku ya paling-paling di payudara mungilnya, atau di perutnya, pernah di pusarnya dan ceceran air maniku itu merambat ke bulu superlebatnya.
Hari itu Mbak In genap 42 tahun. Cuma kami rayakan berdua saja di sebuah restoran di hotel berbintang lima. Dia seksi sekali malam itu. Memakai sack dress ketat tanpa lengan, tanpa BH. Karena dia punya kebiasaan menyibak rambut, sehingga bila lengannya terangkat, maka ketiak hebat itu tampak. Aku lihat pelayan restoran dan pengunjung lain pada ngeliatin. Mbak In sendiri sepertinya bangga dengan ketiaknya sekarang.
Pulang dari restoran kami bercumbu, seperti biasanya. Pakai oral, pakai kocok-kocokan, hingga air maniku mau habis. Mbak In sudah terbiasa dengan muncratan mani. Dibiarkannya air maniku membasahi payudaranya bahkan lehernya. Kadang di perutnya, tepat di pusar. Mbak In makin pintar. Cara mengocoknya semakin hebat. Paduan irama lambat kadang cepat bisa menguras maniku. Kadang penisku digesek-gesekkannya ke ketiak lebatnya, ke payudara mungilnya. Air maniku pernah menetes di ketiaknya. Habis nikmat sih, seperti menggesek bulu vagina.
"Hari ini aku genap 42 tahun, Gus. Jadikan aku wanita selengkap-lenglapnya" pintanya, setelah kami istirahat karena kecapekan.
Hari sudah menjelang pagi. Tapi penisku masih bisa berdiri tegak. Inilah saatnya untuk membobol si perawan tua ratu jembut yang jago onani itu, yang vaginanya merindukan sodokan dan elusan batangan daging bertulang lunak, dengan moncong water canon yang siap menembakkan cairan kental yang kencang di kulit wanita. Aku tentu saja mengiyakan.
"Terserah caramu, asal nikmat", katanya.
Di atas tubuhku Mbak In bergeser pelan, memutar pinggul, goyang kanan kiri. Serba pelan. Kali ini dia tidak banyak bicara. Cuma merem melek sambil ah.., uh.., ah.
Akhirnya aku tidak tahan. Vagina perawan tua itu tiba-tiba seperti menyempit dan menyedot penisku.
"Mbak, Aku mau keluar., Mbak!", Mbak In cuma menciumku dengan mesara. Keringatnya menetes di wajahku. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Rasanya seluruh cairan kelelakianku tersedeot. Seluruh tubuhku seperti diperas. Inilah orgasme hebat yang jarang kualami. Ternyata aku tidak muncrat, cuma mengalir pelan tapi banyak maninya. Saat itu juga Mbak In orgasme. Tubuhnya mengejang, menggelepar di atas tubuhku, dengan keringat membasahi tubuh. Bau ketiaknya kian merangsang.
Dia terpejam menikmati orgasmenya yang pertama kali lewat persetubuhan.
"Oh indahnya. Terima kasih Gus", katanya.
Tidak ada jeritan liar yang menyebutkan segala genital dalam bahasa sehari-hari. Tidak ada teriakan tertahan. Semuanya begitu lembut, hangat, dan indah. Aku merasa seperti perjaka yang kelepasan kemurniannya. Kalo Mbak In sih jelas, perawan tua yang terlepas keutuhannya, dengan lembut, tanpa robekan selaput yang menyakitkan, tanpa darah karena koyakan.
Sampai terang matahari kami masih berpelukan. Kami berdua bolos kerja. Mandi berdua pakai air hangat, alangkah segarnya. Lalu tidur. Siangnya setelah makan kami bersetubuh lagi. Aku yang di atas. Air maniku masih bisa membanjir, menggenangi vaginanya. Lalu istirahat. Sore bersetubuh lagi.
Hari-hari selanjutnya persetubuhan menjadi rutin. Entah sudah berapa cc air maniku mengalir ke vagina perempuan berusia 42 tahun ini, tapi masih seperti vagina gadis remaja karena tidak pernah dipakai itu. Semua adegan BF kami tiru, kami coba. Mbak In makin pintar. Juga makin buas. Indriani si jembut lebat, dengan vagina coklat dan clitoris sebesar mete ini memang wanita yang tepat untuk menguras syahwat. Indriani, kenapa sih birahimu kau simpan sekian lama, tersembunyi dalam vagina gelap dan bulu lebatmu? Demi karierkah kau menahan nafsu betinamu? Kau buang hari-harimu tanpa merasakan cipratan mani dan sodokan penis pada cervix-mu.
Aku semakin terikat padanya. Aku makin menyayanginya. Inikah cinta? Sayang seribu satu sayang, Mbak Indriani si lajang kesepian bersyahwat dahsyat itu tidak pernah membicarakan soal asmara. Tak adakah cinta di kamus hatinya? Tak adakah cinta di ujung vaginanya, agar kelak bisa berbuah janin?
Banyak sudah variasi yang kami lakukan. Hanya satu yang belum. Mbak In membiarkan mani muncrat di wajahnya, begitu pula kepada mulutnya, padahal aku ingin sekali, karena setiap kali masturbasi itulah termasuk yang kubayangkan.
Hari ini ulang tahunku ke 25. Kami bercinta. Waktu ditanya apa permintaan istimewaku, maka aku jawab, "facial cumshot kayak di VCD porno".
Surprised! Mbak In mau. Tapi dengan syarat aku harus bisa membuatnya orgasme terlebih dahulu. Ya maka kami bersetubuh dengan posisi dia di atas.
Berkali-kali dia mengingatkan, "Awas, jangan muncrat dulu Gus..!".
Kalu aku sudah mau keluar, Mbak mencabut vaginanya, lalu meloncat dan menggesek-gesekkan vaginanya ke mukaku. Mulutku melumat habis vagina dan clitoris-nya sampai aku minum cairan vaginanya banyak sekali. Begitulah sampai akhirnya dia klimaks, sambil bicara keras.
"Akan aku habisin manimu.., manniimuu.., mhann..nhii..muu.., spermaamu.., pake mulutku untuk pertama kalinya Gus!".
Semoga tetangga tidak ada yang mendengar. Mbak In kalau sudah di puncak birahi memang tidak bisa mengontrol diri. Pingin teriak yang tabu-tabu. Kadang setengah menjerit, "burungll" atau, "Memekku! Memekku! Memekku..".
Tapi aku justru malah senang. Malah tambah terangsang. Aku paling suka kalau melihat dia menjadi jalang, jadi budak birahi. Nah begitu selesai klimaksnya dengan banjir cairan vagina, Mbak In langsung melumat penisku.
Inilah kelebihan wanita. Biar belum pernah melakukan oral seks di penisku, toh terampil juga. Dia hisap, dia kocok, dia jilat, sedot, lumat, kocok, sampai akhirnya aku tidak tahan. Menjelang puncakku, Mbak In melepaskan mulutnya. Si lajang penuh birahi itupun turun dari ranjang, lalu bersimpuh di lantai. Aku disuruhnya bangun dan berdiri. Maniku sudah tidak tahan. Lalu dia mengocok lagi penisku sambil jongkok, sementara aku berdiri.
"Mbak pake satu tangan aja. Tangan Mbak yang satunya diangkat, biar aku muncrat sambil menikmati jembut ketek yang fantastis itu..", pintaku. Oh, dia menurutiku. Maka tangan kiri mengocok pelan penisku, tangan kanan terangkat, merentang lengan, sampai ketiaknya terlihat jelas. Penisku semakin menegang. Jilatannya makin gila. Kocokannya makin habat.
"Mbaak..", aku menjerit tertahan. Semuanya berlangsung cepat. Maniku muncrat, "Crat.., crat.., crat", Masuk ke mulutnya, tapi tidak tertampung semuanya. Jadilah membasahi pipi dan hidungnya. Bibirnya belepotan mani. Sebagian menetes ke payudaranya yang mungil tapi keras kenyal itu.
"Enak juga mani ternyata", katanya setelah kami terengah-engah duduk di lantai. Kami istirahat.
Pagi esoknya ketika aku masih tertidur, aku terbangun. Karena ternyata penisku sudah dihisap si lajang 42 tahun yang sekarang haus mani itu.
"Iya Mbak ini jamu, biar awet muda. Buat facial bisa bikin wajah kiencang", kataku.
"Katanya sih gitu. Temen-temen itu juga pada minum mani dan dipakai buat cuci muka", katanya sambil terus mengocok penisku.
Akhirnya maniku mengalir dan menjadi jamu yang langsung dihisep semuanya. Mbak Indriani memang hebat. Kali ini tidak ada air maniku yang tercecer. Semuanya masuk ke mulut dan ditelannya. Eh, tidak semua sih. Jarinya sempat masuk ke mulut, lalu mengoleskan mani encer itu ke puting susunya. Sebagai hadiah, aku oral vaginanya. Aku sibak bibir besar di mulut vaginanya dengan jari, lalu mulut aku runcingkan, dan srupp.., masuk ke pintu liang vaginanya. Lidahku menjilat, mulutku menyedot. Semua bagian terkena, dinding luar vagina, labia mayora, labia minora, clitorinya yang sebesar kacang mete itu. Dan terakhir.., aku masukkan pula jariku, berputar-putar di dalam, menggapai G-Spot Mbak In, sementara bibir dan lidahku menggarap daerah pembangkit birahinya. Tentu saja Mbak Indriani jadi blingsatan.
Ketika dia menjerit, "Itilkuu lepas..", saat itulah vaginanya membanjir dan membasahi tenggorokanku, asem asin rasanya. Dan bulu vaginanya itu basah kuyup, oleh campuran lendir vagina dan ludahku. Hari ini memang nikmat sekali.
Setelah itu, hari-hari selanjutnya, seks kami makin gila. Kalau main 69 seringkali sampai air maniku muncrat di mulut mungilnya itu. Tapi Mbak In masih haus variasi. Pingin seperti di BF yang bermacam-macam gaya.
Sudah enam bulan hubungan kami terjalin, dengan penuh birahi dan mani. Mbak In seperti orang yang baru mengenal seks. Memang ya, baru kenal. Makanya keranjingan bersetubuh. Maunya penis dan mani. Beginikah kalau wanita dewasa melajang terlalu lama, obsesinya cuma penis dan mani lelaki, dan yang namanya onani tidak memuaskan dirinya sendiri.
Suatu kali Mbak punya permintaan gila, ingin main bertiga dengan cewek lain. Aku yang harus mencari ceweknya. Tapi itu soal kecil. Aku dulu, sebelum sama Mbak In, suka jajan, jadi punya langganan cewek nakal. Langgananku yang aku sukai adalah Susi. Tubuhnya sintal, kulitnya putih, payudaranya 38, bulu vaginanya tipis, vaginanya merah. Dia jago oral seks. Aku mengontak ke handphone Susi dan dia setuju. Kami janjian di motel Pondok Nirwana di Cawang. Ngakunya sih dia juga kangen.
Di motel aku dan Mbak In check in ke kamar VIP, menutup rolling door, lalu nonton video yang disiarin di TV yang tergantung di atas. Isinya orang bersetubuh, kebetulan main keroyokan, satu pria menghadapi empat perempuan. Puncaknya air maninya menjadi rebutan empat mulut mungil. Wah aku juga mau tuh! Sambil nonton kami petting. Aku cuma memakai celana dalam. Mbak In memakai lingerie satin putih yang tembus pandang, sehingga bulu vaginanya lari kemana-mana.
Ketika Susi datang, Mbak In seang pipis. Tidah tahu, kenapa lama sekali di toilet ya. Padahal begitu Susi datang kami langsung berciuman karena kangen. Ketika berpelukan aku tambah ereksi. Susi memakai rok mini dan koas you can see ketat. Langsung kulepas CD-ku.
"Ya ampun Gus, udah napsu banget ya.., Apa nih, minta diisep dulu apa langsung tancep ke memek?".
Aku tidak menjawab, Susi langsung jongkok mengisap penisku. Sambil dikocoknya pelan. Sudah biasa tuh kami kencan di sini. Ketika sedang nikmat-enaknya dioral, eh Mbak In keluar. Susi tentu saja kaget dan malu. Dia salah tingkah. Mbak In segera mengatasi keadaan.
"Nggak usah malu, Sus. Ini memang mauku. Aku pingin belajar dari kalian".
Lalu aku menjelaskan kalau kami butuh selingan. Aku mengaku kami ini pengantin baru. Susi agak heran, kok aku memanggil "istriku" itu Mbak. Tapi namanya saja bisnis, Susi minta tambah. Kalau sendirian melayani aku Rp 300.000, maka kali ini minta Rp 500.000.
Mbak In karena nafsunya sudah di ubun-ubun, mengiyakan saja. Uang dia kan banyak.
"Aku udah sediain cash cukup kok hari ini..", Hebat juga si jembut lebat ini, bisa mengantisipasi.
"Mbak pinginnya gimana?", tanya Susi.
Ternyata Mbak In maunya melihat dia striptis, setelah itu pingin melihat dia bersetubuh denganku. Susi mau. Aku dan Mbak melihat striptisnya dari ranjang sambil saling merangsang. Makin hebat striptisnya Susi, Mbak In makin basah. Padahal Susi belum telanjang.
Ketika Susi telanjang, Mbak In kian terbakar. Dia meniru Susi mempermainkan payudara dan puting susunya. Dia juga meniru waktu Susi memasukkan dua jari ke vagina lalu menjilatinya. Aku tentu saja makin ereksi.
"Oh gini rupanya cara merangsang lelaki", kata Mbak In. Ketika Susi nungging, lalu memasukkan jarinya ke vaginanya dari belakang, Mbak In menirukannya. Waktu Susi menyodorkan telapak tangannya untuk minta ludahku, yang mana tangan basah itu akhirnya dia oleskan ke vagina dan anusnya, Mbak In juga ikut. Jadi kering tuh tenggorokanku. Susi sambil nungging memasukkan jari ke anusnya, Mbak In mengikutinya. Hanya satu yang Mbak In tidak bisa, menjilati putingnya sendiri.
Akhirnya aku punya ide. Susi aku minta berdiri, mengangkat lengan, lalu menjilati ketiaknya. Mbak In yang duduk bersandar di atas kasur ikut mencobanya. Wow, seksi sekali. Ketiak lebat itu basah oleh jilatannya sendiri.
Akhirnya Mbak In tidak tahan waktu melihat Susi mengangkangkan satu kaki di atas ranjang, sambil meremas vaginanya yang merah yang berbulu tipis itu. Susi, gadis sipit dari Pontianak itu memang sensual dan erotis. Mbak In terengah.
"Udah giliranku dulu baru kamu Sus. Ayo Gus, mana burungmu..".
Aku menarik Mbak In ke sofa. Aku duduk seperti memangkunya, lalu Mbak In jongkok di atas pangkuanku sambil mengangkang, dengan begitu penisku bisa menembus vagina Mbak In yang lebih gelap dari Susi. "Blkess..", nikmat sekali masuknya karena sudah licin vagina Mbak In si lajang gila seks. Susi hanya melihat saja. Akhirnya dia punya inisiatif. Dia ciumi vagina Mbak In dan penisku, sementara pantat Mbak In naik turun.
Jadi begini posisinya. Mbak In mengangkang di pangkuanku, menghadap ke depan, dengan vagina tertembus penis, sementara Susi nungging di depan sofa dengan muka menempel di kemaluan kami. Jilatan Susi kian menggila. Ketika penisku keluar, karena meleset gara-gara vagina Mbak In sudah banjir, segera ditangkapnya dan dikocok. Sementara mulutnya masih menggarap clitoris dan vagina Mbak In.
Mbak terengah-engah. Kadang menjerit. Susi memang pintar. Jam terbangnya sebagai wanita nakal tahu bahwa penisku mau muncrat. Maka peniskupun digenggamnya erat, agar kecekik, sehingga maniku tertahan. Sementara itu mulut dan tangan kanan Susi sibuk menggerayangi tubuh Mbak In. Si Mbak rupanya sudah tidak peduli kalau penisku sudah tidak di dalam vaginanya lagi. Oralnya si Susi telah melambungkannya ke alam birahi ternikmat di dunia.
Akhirnya Mbak In mencapai klimaks. Aku dengar suara mulut Susi mengisap-isap cairan vagina Mbak. "Slrpp..". Beberapa kali Mbak In klimaks, sampai akhirnya menjerit, "Memek, memek, memekkuu.., nggak tahan.., Lu memang lonte hebat Susi.., Ajarin aku buat menikmatin seks.., Auhh.., itilku mau lepas, aku kebelet pipis, memekku mau pecah.., Mana burung, mana mani..".
Semakin seru ucapan Mbak In di ambang puncak dari segala puncak birahinya.
Akhirnya semuanya usai. Mbak In terkulai, dengan vagina memerah basah, begitu pula bulu lebatnya yang basah kuyup, karena campuran cairan vagina dan ludah si amoy Susi. Mbak Indriani turun dari pangkuanku, lalu merebahkan diri di kasur. Aku sudah tidak tahan. Maka segera aku kocok penisku.
Susi tiba-tiba bilang, "Jangan Gus. Itu buatku. Lu pikir gue nggak kangen juga. Biar lonte gue juga butuh nikmat lho.."
Susi rebah di ranjang, di sebelah Mbak In, lalu mengangkang, dan penisku ditariknya. Lalu, "Bles..". Baru dua menit aku sudah muncrat habis-habisan. Tapi aku tahu siapa Susi karena aku langganannya. Justru ketika aku muncrat itulah dia mulai beranjak orgasme. Ketika penisku melemas, dia seperti berpacu dengan waktu, agar bisa mencapai puncak, sementara vaginanya kian licin karena sperma, dan penisku bisa tergelincir keluar.
Akhirnya dia puncak juga. Dan memberi servis extra, melumat penisku yang melemas dengan mulutnya, sampai penisku betul-betul mengerut kecil dan kering maninya. Setelah itu kami istirahat, memesan makanan yang diantar oleh pelayan. Kami telanjang. Pelayan motel tidak bakal melihat, karena nganternya cuma dari lubang.
"Gua mau mandi ah", kata Susi. Dia memang cuma makan sedikit, sehingga dengan nikmat bisa mutusin buat mandi. Begitu shower di kamar mandi terdengar, Mbak In meraihku.
"Masih bisa berdiri nggak, Gus?".
"Aduh, aku capek Mbak, udah lemas..".
"Ya udah, kita 69 aja ya.., Aku lagi birahi tinggi nih.., Biasa, mau mens Gus".
Lalu kami ber-69. Mula-mula aku keringkan vagina basah dengan bulu yang awut-awutan dengan celana dalam Mbak In. Itu yang sering aku lakukan, mengepel vagina dengan underwearnya Mbak In.
Setelah vaginanya kering, aku jelajahi dengan mulutku. Rupanya cairan vagina Mbak In juga sudah habis. Jadi aku harus mengeluarkan saliva-ku agar vaginanya basah. Karena aku berposisi 69 di atas, maka kusibak lubang itu selebar-lebarnya, lalu aku ludahi. Setelah basah, aku mengulum clitoris Mbak In yang sebesar mete itu.
Setelah kami berukar posisi. Dia di atas. Setelah itu jariku masuk ke vaginanya. Satu jari dulu, jari tengah, keluar masuk, berputar-putar, menjelajahi lubang si lajang jalang. Lalu dua jari, jari tengah dan telunjuk. Selama dalam lubang, sebisa mungkin aku membentuk tanda V, sambil mengeksplorasi liang Mbak Indriani. Dia mulai terangsang. Mulai merintih. Mulai basah. Akhirnya tiga jariku masuk ke vaginanya, dan berputar-putar.
"Gilaa.., kenapa nggak dari dulu kamu lakukan Gus? Teruss..".
Karena di atas, Mbak lebih leluasa. Pinggulnya terus bergerak. Aku sempat kehabisan napas, soalnya hidung dan mulutku digusel vagina dan bulu vaginanya tiada henti, sehingga oksigen terhambat masuk ke mulut dan hidungku. Mbak In sendiri makin kuat mengulum dan mengocok penisku. Akhirnya aku ereksi sedikit, dan akhirnya bisa berdiri tegak.
"Terus Mbak, dikocok, diemut, dijilat.., Terus.., sampe keluar maniku..".
"Sayang banget kalo kamu muncrat sekarang. Masukin dulu ke lubangku, baru kamu boleh muncrat..".
"Tapi Mbak di atas ya..".
Mbak In tidak menjawsab, tapi langsung ganti posisi. Dia menindihku dan dalam sekejap vaginanya tertembus oleh penisku. Dia terus bergerak. Keringatnya membanjir. Lipstiknya habis. Rambutnya acak-acakan. Tapi entah mengapa dia jadi kelihatan cantik sekaligus jalang.
"Gus kamu tahan nafsumu, jangan ikutan aktif, biar nggak nggak cepat muncrat..". Lalu dia memacu diri.
Saat itulah Susi keluar dari kamar mandi, cuma dililit handuk.
"Ayo Susi sayang, bantu aku..".
Susi ketawa, "Udah tuntasin aja secepatnya Mbak..".
"Ayo Sus..", kata Mbak In.
"Tapi tambah Rp 75.000 ya?".
"Terlalu lu Sus.., Komersil banget sih?".
"Gue kan nyari nafkah Mbak.." Sambil menjawab, Susi sudah duduk di samping kami. Tangannya meraba biji pelirku.
"Gini deh, mulut gue udah capek nih. Gimana kalo pake jari, tapi gratis?".
Mbak In yang terengah-engah itu tidak menjawab. Yang terasa sekarang adalah penisku seperti punya teman di lubang. Jari tengah Susi ikut menembus vagina Mbak In. Mbak In blingsatan. Mulai ngomong jorok.
"Bagus, Sus, bagus.., Gila, itil gue lu jepit pake jari ya?, Uhh", Mbak In kian berkeringat. Aku tidak melihat apa yang sedang trjadi, karena posisiku tidak memungkinkan untuk tahu. Bayangkan, Mbak In di atas, dan terus menciumiku. Aku tahu, birahinya mulai menanjak kencang. Yang pasti kurasakan jemari Susi bermain-main di kemaluan kami.
"Gila! Gila! Gila Gus! Dua jari njepit itilku, lalu jempolnya masuk dubur.., Terlalu Gus! Nikmat Gus! Gila Gus. Jempolnya udah digantiin jari lain.., gilaa, Uhh aku sampai puncak!".
Mbak In bergerak liar, akibatnya penisku terlepas. Tapi dia tidak mempedulikan penisku lagi, soalnya jemari Susi terus memburu, menggarap clitoris dan anus. Akhirnya Mbak In terkulai setelah menjerit, "Akuu!". Aku sendiri segera mengocok penisku. Tidak sampai semenit penisku sudah mendidih dan siap muncrat. Dengan segera aku bangkit, memiringkan badan, dan mengarahkan penisku ke wajah Mbak In yang tergolek kelelahan dengan nafas terengah-engah. "Cratt.., tes.., tes..", Air maniku menyiram wajah Mbak In yang siang ini tampak cantik sekali. Kena pipinya, hidungnya, bibirnya, bahkan matanya. Itulah salah satu petualangan seks-ku dengan Mbak Indriani..
TAMAT
Setelah itu aku mencoba segala macam wanita, dari pelacur sampai wanita baik-baik. Rasanya sih, aku sudah mempunyai banyak pengalaman. Sudah mengerti semua. Cuma aku tidak pernah merasa kenyang, itu saja problemku.
Semua keyakinan diri itu akhirnya berubah ketika aku memperoleh kenikmatan hubungan badan dengan Mbak Indriani, seorang akuntan yang masih lajang dari suatu kota di Jateng yang pernah menjadi atasanku di tempat kerjaku di Jakarta.
Mbak In, memang tidak tergolong cantik seperti layaknya bintang sinetron. Umurnya 42 tahun. Kulitnya hitam manis, tingginya sekitar 160 cm, mempunyai bentuk badan yang langsing dan mempunyai payudara yang kecil namun indah menantang. Dulu rekan-rekan di kantorku, termasuk para wanitanya, secara sembunyi-sembunyi menyebut dia sebagai "si kulkas". Soalnya dingin, pasif dan tidak hot. Pokoknya dia tidak masuk dalam daftar seleraku.
Tapi suatu hari di akhir tahun 1999, aku berjumpa lagi dengannya. Gara-garanya VW kodokku mogok di dekat rumahnya, sebuah paviliun di Kebayoran Baru itu. Saat itu hujan deras lama sekali. Aku menelepon taxi Blue Bird tapi tidak datang.
"Ya udah tunggu dulu aja, sambil ngobrol soalnya udah lama kita nggak ketemu", katanya.
Mulanya kita ngobrol biasa. Taxi yang saya pesan belum juga datang. Padahal sudah jam 9 malam. Mbak In menawariku tidur di rumahnya saja, di sofa ruang tamu. Akupun setuju atas tawarannya, daripada repot, pikirku.
Lalu kami ngobrol ngalor-ngidul. Setelah makan malam, kami masih bercerita tentang banyak hal. Sampai akhirnya aku lancang nanya, "Kok Mbak tetep melajang sih?".
Diapun cerita bahwa dirinya memang malas untuk menikah karena masih suka sendiri dan bebas. Buktinya dia bisa hidup tanpa pembantu. Semua dikerjakannya sendiri. Kecuali pakaian tertentu yang dilaundry.
"Wah serba swalayan ya", kataku.
"Termasuk soal tertentu yang khusus juga", katanya sambil ketawa.
Aku kaget juga. Yang dia maksudkan pasti seks. Soalnya setahuku dia tidak pernah berbicara tentang seks, makanya dia dijuluki si kulkas.
Jam 11 malam aku mulai mengantuk. Mbak In meminjamiku celana dalam dan kaos oblong (keduanya masih baru, berukuran XL, karena itu sebetulnya oleh-oleh dari Bali untuk temannya), dan memberikan sikat gigi baru serta handuk, lalu dia masuk ke kamarnya sendiri.
"Selamat beristirahat. Kalau butuh pengantar tidur nyalakan terus saja TV-nya, tapi jangan keras-keras. Kalo kamu mau baca-baca ya silakan aja, Gus", katanya.
"Makasih Mbak, good night", kataku.
Setelah mandi, aku sendirian di ruang tamu itu. Sudah menjadi kebiasaanku kalau mau tidur harus diiringi oleh musik kaset/CD, atau radio, kadang juga TV. Lalu me-ngeset timer-nya sekitar satu jam sampai akhirnya aku tertidur. Tapi malam itu aku susah sekali untuk tidur. Mau membaca tapi mataku lelah sekali. Akhirnya akupun menyalakan TV, tapi acaranya jelek-jelek.
Akhirnya iseng-iseng aku dekati rak audio-video. Aku periksa ternyata CD playernya berisi tiga keping. Karena remang-remang aku tidak tahu itu CD audio atau VCD. Aku kembali ke sofa. Remote control compo dan TV aku bawa. Setelah aku klik remote-nya barulah ketahuan kalau isinya VCD. Lantas aku putar, lalu muncul opening scene.
Aduh!, Ternyata isinya BF, Judulnya aku lupa, tapi isinya berupa kumpulan adegan klimaks, jadi bukan cerita utuh. Asyik juga.., isinya cuplikan dari banyak film. Pembukaan pertama oral seks sampai air maninya keluar. Aku belum tegang, masih tetap tenang. Adegan berikutnya mirip, begitu seterusnya, hingga adegan penis dimasukkan sampai dicabut waktu air maninya mau kaluar. Aku juga belum ereksi, hal ini di sebabkan karena aku sudah lelah dan mengantuk. Lagipula menonton VCD porno sudah sering kulakukan. Jadinya agak kebal juga.
Nah, potongan terakhir VCD itu dahsyat juga, sehingga membuat penisku menggeliat. Adegan 69. Yang banyak disorot bukan felatio (cewek mengisap cowok), tetapi cunnilingus (cowok mengisap vagina cewek). Aku sampai ereksi menyaksikan adegan tersebut, sehingga adegan itu ada yang aku ulangi sampai beberapa kali. Aku ingin menikmati sampai puas sebelum si cowok di layar TV itu orgasme, sementara aku sendiri berharap bisa orgasme bersamaan dengan gambar di layar tersebut, karena aku mengelus-elus penisku sendiri. Aku perhatikan cara si cowok melayani si cewek. Hebat juga sampai ceweknya mennjerit-jerit.
Ketika adegan berganti, si cewek mengocok penis cowoknya sembari mengisap, mendadak ada tawa kecil di belakangku. Aku kaget, malu dan salah tingkah karena Mbak In sudah berada di belakangku. Yang bisa kulakukan saat itu cuma mematikan TV-nya, bukan VCD playernya. Lalu aku diam dan menunduk. Tapi Mbak In memegang pundakku dan berkata, "Kamu suka juga ya rupanya. Nggak apa-apa sih kan udah dewasa".
Aku senyum, dan tidak berani melihat mukanya.
"Gus", katanya, "Kamu udah sering gitu juga kan? Aku tahu kalo beberapa cewek di kantor kita dulu ada yang pernah kamu kencani..".
Aku menatapnya. Mbak In ternyata cuma memakai lingerie satin putih tipis, berupa rok dalam pendek tanpa lengan dan celana dari bahan dan warna serupa.
"Kenapa tuh kolormu, kok ada yang berdiri?".
Ah.., aku makin salah tingkah. Aku tersipu, karena penisku masih tegak.
"mm.., aku.., aku.., aku.., Mbak", cuma itu yang bisa kuucapkan, sembari aku bangkit dari posisiku yang tadi tiduran di atas sofa.
Kemudian Mbak In duduk di sebelahku. "Aku tadi sempet tertidur sebentar. Tapi gara-gara petir aku terbangun, dan nggak bisa tidur lagi", katanya.
"Lantas aku dengar suara TV masih nyala. Tapi suaranya kok ah.., uh.., ah.., uh. Aku buka pintu pelan. Kamu nggak tahu ya?".
"Ya Mbak", kataku.
Kali ini aku sudah mulai tenang. Pantas saja aku tidak tahu kalau dia keluar dari kamar, pikirku. Soalnya kamarnya gelap, jadi waktu pintu dibuka tidak ada cahaya yang menerobos keluar.
"Aku liat diam-diam, ternyata kamu lagi asyik ngeliat itu ya. Aku liat tadi di adegan berikutnya kamu mengulang-ulang adegan, dan tanganmu meraba-raba celanamu..".
"Ya Mbak", cuma itu yang aku ucapkan.
"Yuk, putar lagi", ajaknya.
"Nggak ah, malu", balasku.
"Nggak apa-apa, Gus" katanya, lalu mengambil remote dari tanganku. TV menyala lagi. Lantas dia mengambil remote compo, dan memutar CD kedua.
"Tuh liat", katanya.
Judulnya "Modern Kamasutra". Isinya tidak ganas. Serba lembut.., tidak ada close up penis masuk vagina, tidak ada close up ejakulasi mengenai payudara.
Selama 15 menit kami menikmati CD itu dengan diam, sampai kemudian Mbak In berbisik, "Ajarin aku dong Gus. Aku kan nggak pernah", katanya sambil memelukku.
Aku cuma bergumam, "mm..".
"Keluarin semua ilmumu dan pengalamanmu.., Gus..".
"Kok gitu sih Mbak?".
"Iya dong.., Kamu ajarin aku dong..".
"Emang Mbak nggak berpengalaman?".
"Stt.., kamu kayak nggak tahu aja. Aku ini masih perawan, makanya sering disindir sebagai perawan tua. Aku juga tahu julukan si kulkas, Gus", kali ini dia semakin merapat.
"Ajarin aku supaya nggak jadi perawan tua lagi. Ajarin aku biar aku jadi wanita yang lengkap, pernah merasakan nikmatnya pria tanpa harus bersuami dan tanpa harus punya anak, Gus.., Biar lajang tapi matang, gitu Gus".
Aku terdiam tidak yahu harus berbuat apa, aku melihat ke layar TV. Ah.., adegannya indah sekaligus gila. Mulanya 69, dan pakai close up tapi gambarnya tetap soft, seperti memakai filter. Lantas si pria memasukkan penisnya dari belakang. Lalu 69 lagi. Lalu si cewek berada di atas. Sebentar saja dia sudah meloncat, duduk di muka si cowok, minta dioral, lalu menindih lagi, duduk lagi, menindih lagi, duduk lagi, menindih lagi, entah berapa kali, sampai akhirnya orgasme. Ketika si cowok berdiri, si cewek mengisap dan mengocoknya. Aku tegang sekali, terangsang oleh adegan di layar.
"Ajarin aku sayang. Tunjukin kebisaanmu yang telah membuat cewek-cewek di kantor kita ketagihan..". Tangannya memegang kedua pipiku, "Please..".
Entah kenapa aku seperti terhipnotis. Aku peluk dia, kucium pipinya, lalu keningnya. "Ya Mbak. Tapi aku lagi capek, setelah main squash tadi, jadi mungkin nggak memuaskan Mbak".
"Aku nggak minta macam-macam. Cuma diajari. Semacam apresiasi, gitulah..".
"Ya Mbak. Tapi VCD dan TV-nya dimatiin ya", pintaku.
Mbak In mencubit pipiku, lalu mencium kedua pipiku. "Boleh..".
"Mbak In pingin yang gimana sih?".
"Terserah. Pokoknya kamu harus membimbingku, ngajarin aku.., Aku sendiri nggak tahu apakah malam ini akan melepas keperawananku, tapi yang jelas aku pingin dapet sebuah pengalaman yang penting bagi seorang wanita dewasa, yang berumur 40 lebih..".
Aku terharu, merasa kasihan. Wanita pendiam dan dingin bagai kulkas ini ternyata menginginkan pengalaman erotis. Wanita yang tidak pernah bicara jorok dan cerita humor porno ini (tidak seperti cewek lain di kantornya) ternyata menginginkan sesuatu.
"Ayo Gus. Ajarin aku, bimbing aku.., Kasih tau aku harus gimana saja. Kamu kan lelaki sejati. Kamu udah punya jam terbang banyak. Tunjukin itu..".
"Ya, Mbak", kataku seraya mencium keningnya. Mbak In memejamkan mata. Kurasakan hangat tubuhnya.
"Katakan apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan pengalaman pertama yang indah, Gus. Lengkapi diriku sebagai seorang perempuan yang dewasa..".
Aku mengangguk lalu memeluknya, dan mengelus rambutnya yang sekarang dipotong pendek itu. Aku merasa kelelakianku ditantang dengan halus. Inilah kelebihan wanita. Masih perawanpun tahu bagaimana caranya menggerakkan hasrat pria.
TV sudah mati. Aku berdiri, menghampiri rak audio. Di dekatnya kutemukan CD Romantic Night, musik instrumental lembut. Itu yang aku putar. Lalu aku kembali ke sofa menghampiri Mbak In.
"Mbak", bisikku.
"mm.., beri aku pengalaman, Gus. Matangkan aku. Jangan mempermalukan aku. Aku telanjur ngomong ini. Aku belum pernah minta beginian pada laki-laki. Aku memilih kamu soalnya aku percaya sama kamu. Kamu dulu karyawan yang nggak reseh, bukan trouble maker, dan gentleman. Aku tahu kamu telah meniduri beberapa cewek di kantor kita, tapi kamu nggak pernah mengumbar affairmu. Kenapa aku bisa tahu, yah tahu sendiri.., mayoritas kantor kita kan cewek, dalam 15 wanita cuma ada 1 pria".
Aku merasa percaya diri. Aku peluk Mbak In erat.
"Apa yang harus aku lakukan, Gus? mm ya, mestinya apa yang harus kamu lakukan? mm, maksudku apa yang akan kamu lakukan.., mm kok pake nanya. Mestinya tinggal dijalanin ya.., mm.., mm Gus..", kali ini dia seperti kebingungan mau berkata apa. Kukecup keningnya.
"Mbak pingin merasakan sesuatu yang indah? Mbak sendiri punya fantasi apa sih?".
"Banyak. Tapi aku malu ngomonginnya. Terserah kamu dah", katanya sedikit bermanja. Aneh juga, aku merasa senang dimanja oleh perempuan yang lebih tua. Yah inilah kelebihan wanita, yang bisa membuat lelaki merasa berharga dan dibutuhkan.
"Aku ini menarik nggak sih Gus?".
Aku mengangguk. Lalu kubisiki, "Lebih menarik dan indah kalo sekarang Mbak pake lipstik dan parfum dikit..".
Dia segera berdiri, mencubit pipiku, lalu ke kamar. Tidak lama kemudian dia memanggil, "Sini Gus..".
Aku masuk ke kamar. Dia sedang duduk di meja rias. Aku memeluknya dari belakang. Bau wangi menyergap pelan ke hidungku. Bibirnya sudah terolesi lipstik. "Cakep Mbak". kataku.
"Bener?", jawabnya manja.
Mbak In berdiri. Aku kemudian duduk di belakangnya. Di muka cermin berlampu itu aku dapati Mbak In dengan pesona kewanitaan yang bertambah. Seorang wanita berumur 42 thn yang matang. Ajaib juga, aku bisa tertarik malam ini. Tanganku memeluk pinggangnya dari belakang.
"Gini ini ya yang dilakukan para istri?".
"Aku nggak tahu. Aku belum beristri, dan nggak pernah main dengan istri orang".
Kemudian aku berdiri, tetap di belakangnya, dan tangan tetap memeluk pinggangnya. Aku cium lembut pipinya dari belakang. Lalu bibirnya, pelan dan lembut, dengan gesekan mengambang.
"Aku belum pernah dicium cowok Gus", bisiknya.
"Ouhh..", lenguhnya. Aku melihat ke cermin. Dia juga. Wajahnya tersipu.
"Merem saja Mbak", kataku. Dia menurut. Tanganku tetap di pinggang. Kuamati dari cermin, matanya terpejam. Lalu kucium lembut lehernya.
"Ihh..", cuma itu suaranya.
Lantas kucium telinganya. Ah ya.., inilah kelebihan wanita, meskipun dia masih perawan nalurinya tahu bagaimana memancing syahwat lawan jenis. Bagian belakang telinganya itu sudah wangi. Aku merasa nikmat. Lalu kucium lehernya, telinga lagi, leher lagi, pipi, bibir, telinga, leher, dan akhirnya tengkuk.
Tangan kiriku tetap memeluk pinggang dari belakang. Tangan kananku naik ke pusar. Dari cermin kulihat puting Mbak In mulai mengeras, menembus lingerie satin yang di kenakannya.
"Nah gitu dong ngajarinnya, Gus", bisiknya.
Dari cermin berlampu itu kulihat pancaran kewanitannya terus bertambah. Aku tidak menyadari si kulkas ini ternyata memikat. Pagutan ke bibir, leher, telinga dan tengkuk mulai kulancarkan. Tubuh Mbak In mulai bergetar. Dia tetap terpejam. Dengan pelan seolah tak sengaja aku raba puting kirinya. "Uhh", dengusnya. Kurasakan debar jantungnya meningkat. Lantas hidungku dan mulutku mulai mengecup bahunya yang terbuka, karena baju atas lingerienya itu cuma bergantung pada tali. Dia menggeliat.
"Geli tapi nikmat. Kamu pinter Gus", bisiknya, tetap terpejam.
Kini kedua tangannya memegangi tanganku. Matanya masih terpejam. Kutatap sosok wanita ini dari cermin berlampu (hanya itu yang menyala di kamar, karena lampu lain mati). Kudapati sesuatu yang selama ini, selama mengenalnya, tidak pernah kuperhatikan. Aku kan sudah bilang, Mbak In bukan tipe yang masuk daftar seleraku.
Kini kudapati sesuatu. Mbak In ternyata menarik, punya pesona kewanitaan yang kuat. Kulitnya tidak putih tapi bersih. Tubuhnya langsing, tapi tidak bisa disebut kerempeng. Lekuk tubuhnya masih terlihat dan terasa. Mukanya bersih, tanpa bekas jarawat. Garis matanya memanjang seperti wayang. Alisnya tebal merata. Bibirnya mungil. Bau nafasnya nikmat.
Oh.., apakah yang berubah pada diriku? Kenapa tiba-tiba aku bisa menikmati dan menghargai pesona kewanitaan Mbak In? Karena terangsang, toh dari tadi aku ereksi? Bukan juga. Aku sudah sering bermain dengan wanita. Semuanya kuawali dengan keterpesonaan, terlepas wanita itu cantik sekali atau sedang-sedang saja. Yang pasti sejak aku kenal Mbak Wiwik, yang merenggut keperjakaanku saat aku remaja, seleraku hanya seputar itu, wanita berkulit putih, dengan buah dada besar. Tapi Mbak In? Ah, aku tidak tahu. Aku seperti merasakan pengalaman baru.
Tangan Mbak In masih memegangi tanganku. Sekarang matanya terbuka. Dia tersenyum. Aku kecup bibirnya, lembut lalu pipinya, telinganya, tengkuknya.
"Apa lagi sekarang, Gus?", bisiknya.
Kulepaskan pegangan tangannya lalu kutuntun untuk melingkarkan tangan kanannya ke belakang, ke leherku, karena aku kan berdiri di belakangnya. Kucium lehernya.., Kurasakan debar jantungnya, dan bunyi nafasnya yang mengeras.., sepertinya dia bernafas dengan mulut. Lantas aku beralih ke bahunya yang terbuka. Kuangkat tangan kirinya untuk memegangi tengkuknya sendiri.
Saat kutatap cermin, kulihat sesuatu yang luar biasa. Bulu ketiak Mbak In ternyata lebat sekali. Aku terkesiap. Wow!, seperti tak percaya melihat bulu hitam rimbun itu menghiasi bagian bawah lengannya. Kuangkat tangan kanannya. Sama lebatnya. Wow! Ajaib! Aku belum pernah melihat ketiak selebat itu. Lagi pula aku selama ini memang tidak tertarik dengan ketiak yang berbulu, terkesan jorok dan tidak feminin. Tapi kali ini? Wuahh.., kurasakan debar di dadaku, kurasakan aliran darahku meningkat. Berubahkah aku?
Ya! Ketiak lebat ternyata memikat. Suatu hal yang selama ini membuatku risih ternyata merangsang. Dengan pelan aku raba kedua ketiak itu.
"Nggak pernah dicukur ya Mbak?", Mbak In menggeleng dengan tersenyum.
"Biarin. Entah kenapa aku nggak merasa terganggu. Kamu tahu, dulu di asrama, waktu masih kuliah, aku dijuluki Ratu Ketiak. Karena sejak tahun kedua kuliah aku nggak mencukurnya. Buatku ini bukti kebebasanku, bukti ketidakpedulianku pada apa yang menurut orang lain pantas..".
Lalu kucium ketiak berbulu itu. Wow! Fantastik! Bau asli tubuh bersih menyergap hidungku, karena wanita yang mengerti tentang parfum memang tidak pernah memberi parfum di ketiaknya, kecuali deodorant. Bau ketiak wanita (asal tidak kelewat keras), itu yang aku sukai dari cewek-cewek yang kukencani selama ini. Kali ini bau alami itu bertambah dengan bulu lebat, sepanjang hampir 5-6 cm. Pantas dulu disebut Ratu Ketiak.
Dari ketiak kanan aku pindah ke ketiak kiri. Sama aroma dan sensasi bulunya dengan yang kanan. Aku terangsang sekali. Ukuran terangsang bukan cuma soal ereksi seberapa keras dan panjang, tapi juga gelora di dalam diri. Sejak tadi aku ereksi, tapi yang sekarang makin ditambah peningkatan nafsu. (Nah para cewek, pahamilah itu..)
Dengan hidung dan mulut di ketiak kirinya, kedua tanganku meraba kedua puting susunya. Keras sekali. Aku pegang lembut payudaranya yang kecil itu. Kenyal sekali. Ini sensasi baru buatku, karena aku tidak pernah tertarik dengan payudara kecil. Aku tidak bisa ereksi oleh payudara mungil. Bila berkencan dengan perempuan aku selalu memilih yang mempunyai payudara besar, ukuran 34 keatas (beberapa kali aku dapat yang ukuran 38C). Payudara Mbak In sepertinya di bawah 34. Tapi kok merangsang ya? Nafsuku semakin berkobar. Ibarat bendera, mulai berkibar-kibar. Hanya gara-gara bulu ketiak dan payudara kecil (suatu hal yang belum pernah terjadi).
Akhirnya baju atas lingerie itu kulepas. Dan wow! Kudapati payudara kecil yang kencang, dengan puting mengeras. Puting itu berwarna gelap, tapi begitu merangsang bagiku. Aku selama ini mengencani wanita berkulit putih, termasuk bule, sehingga puting mereka berwarna terang, kalau bule malah kemerahan.
Aku remes pelan kedua payudaranya. Mbak In cuma ah-uh-ah-uh. Kuciumi lehernya, tengkuknya, telinganya, bahunya, dan ketiaknya, sambil mempermainkan puting dan payudaranya.
Lalu aku duduk di kursi dekat meja rias. Aku ciumi puting dan payudaranya, dan kemudian aku kecup puting itu sehingga makin mengeras. Kudengar pinggul Mbak In berkeletek, berbunyi tanda kontraksi otot saat wanita mulai disulut birahi.
"Mbak, aku terangsang. Aku suka ketek dan bulu Mbak, tetek dan puting Mbak..".
Mbak In tersenyum. "Ajarin lagi aku sesuatu yang baru", katanya.
Kupandangi tubuh kencang yang sekarang tinggal bercelana dalam satin tipis. Baru aku sadar, di bawah pusarnya tampak segitiga menggelap. Itu pasti bulu vagina. Aneh, aku jadi penasaran, ingin segera melihatnya. Padahal selama ini aku tidak suka melihat bulu vagina yang lebat. Pernah waktu di panti pajit nafsuku jadi mengendor karena si cewek mempunyai bulu vagina yang lebat. Si cewek panti pijat sempat tersinggung, karena nafsuku jadi merosot gara-gara bulu vaginanya yang lebat. Akhirnya aku cuma meminta si pemijat untuk mengocok penisku, sembari aku membayangkan salah satu cewekku yang bulu vaginanya super tipis, hingga aku ejakulasi di payudara pemijat itu.
Aku selama ini memang risih dengan bulu lebat. Dalam pandanganku jorok, tidak sehat, cuma menimbulkan bau dan penyakit. Tapi kali ini begitu bernafsu ingin tahu, Mbak In rupanya tahu.
"Kamu pingin liat lainnya yang lebat ya? Boleh..".
Aku menggeleng. Dia mengerutkan kening. Aku tersenyum, "Entar Mbak..".
Yang kulakukan sekarang adalah menciumi pusarnya lalu turun ke bawah, tanpa membuka celana lingerienya, sampai kurasakan bulu tebal tergesek satin dan hidungku.
Setelah itu kusisipkan jariku ke celananya. Kurasakan ketebalan bulu vaginanya yang lebat. Jariku seperti buta sejenak, tidak tahu kemana harus meraba clitoris dan labia majoranya.
Oh, jadi inilah pesona bulu vagina yang tebal, bisa menyembunyikan vulva. Cewek-cewek yang pernah kukencani berbulu vagina tipis, malah ada yang cuma beberapa lembar, sehingga begitu mengangkang sedikit saja, vulvanya langsung terlihat jelas. Dan itulah yang aku sukai. Itu yang membuatku ereksi. Bau khas vaginanya juga mulai menyergap hidungku. Aku kian terangsang.
Akhirnya jemariku mulai mengenal medan. Tahu mana yang clitoris, mana yang labia majora, mana yang labia minora. Lebih dari itu, jemariku basah sekali, seolah baru saja terendam di mangkok. Lingerie itupun basah, sehingga semakin menempel ke vulva, dan bulu lebat itu makin kentara. Pinggul Mbak In terus berkeletekan, kontraksi karena terangsang.
"Kamu terlalu, Gus. Terlalu.., Ayo buka celanaku", katanya.
Dipeganginya kepalaku, dijambaknya rambutku yang gondrong, lalu digesek-gesekkan ke lingerie yang basah kuyup dengan aroma yang kian kentara itu.
"Aku terangsang Gus..".
Tiba-tiba dia mundur, menjauhkan kepalaku. Tak terasa aku sudah berlutut sejak tadi rupanya. Dengan cepat dia melepas sisa lingerie-nya, dan mencampakkannya ke lantai berkarpet. Wow! Luar biasa, bulu lebat membentuk segitiga seperti celana dalam. Lalu aku naikkan kaki kanannya ke kursi rias. Wah! Luar biasa. Kelebatan bulu vaginanya menutupi vulva. Aku sibak bulu vaginanya, lalu tampaklah vulva yang berwarna gelap, kecoklatan, bukan kemerahan, bukan coklat muda. Aneh! Aku kok bisa terangsang. Padahal kalau melihat gambar porno perek melayu yang berkulit hitam, meskipun payudaranya besar, toh vulvanya gelap. Dan itu menjijikkanku. Tapi kali ini aku terkesima. Aku sibak dan belai bulu vaginanya yang sedikit basah. Begitu pula vulvanya. Vulva seorang perawan matang yang mengkilap.
Aku terus memandanginya. Kutunda sekuat tenaga untuk tidak segera mengecup dan menjilatinya. Karena aku ingin menikmati pengalaman baruku secara bertahap dengan pelan. Dengan jempol kuraba clitorisnya yang menyembul keras dan gelap itu.
"Auwww..", Mbak In bersuara.
Astaga! Jadi inilah clitoris si Mbak. Coklat tua, ada merah tuanya. Besar juga clit-nya. Aku putar pakai jempol.
"Ihh.., gila kamu Gus!".
Lalu jari telunjuk dan jari tengahku menjepit clitnya dan memutar-mutarkannya.
"Gila.., ghuillaa.., waohh", desahnya.
Nafasku mulai memburu. Mbak In juga. Aku ambil break sejenak. Mundur, duduk, kaki selonjor di lantai, kedua tanganku di lantai menyangga badan. Saat dia akan menurunkan satu kakinya, aku bilang, "Jangan dulu Mbak.."
Kuamati tubuh di depanku itu. Barulah kusadari pancaran kewanitaannya. Tubuh Mbak In memang kencang. Dalam umur 42 masih bagus badannya, karena masih perawan, belum pernah melahirkan. Lebih dari itu dia memang rajin senam dan fitness, begitupun renang. Sempat terbayang bagaimana ketiaknya terlihat kalau dia senam dan renang. Tubuh langsing padat, payudara kecil kencang, bulu vagina lebat merambat.
"Mbak aku pingin liat ketiak Mbak lagi..", pintaku.
Dia mengangkat kedua lengannya. Bayangkan. Satu kaki di kursi, kedua lengan terangkat, dada busung tegak. Oh indahnya. Oh wanita dewasa. Oh wanita matang. Oh wanita lajang. Oh wanita perindu kehangatan lelaki. Oh wanita matang lajang kesepian yang hanya berfantasi setiap hari sambil mendidihkan birahi untuk dirinya sendiri.
"Apa lagi sekarang Gus?".
"Mbak aku mau liat vulva Mbak..".
"Boleh. Nih liat..".
Wow! Tangan kanannya turun, lantas jemarinya merentang labia majora. Merah tua menggelap, tapi bagian dalamnya merah menyala. Begitu basah dan berkilau. Lendir yang encer terlihat jelas.
Sesaat aku menikmati pemandangan yang belum pernah kualami itu. Tangan kanan menyibak vulva, lengan kiri terangkat memamerkan ketiak lebat.
"Mbak jilat sendiri Mbak..".
Ah, dia mau melakukannya. Jemari itu dijilatinya, lalu digesekkan lagi ke vulva, jilat lagi, beberapa kali. Aku tidak tahan, lalu berdiri. Penisku kian mengeras, sehingga celana dalamku seperti menyimpan senjata. Ada setitik basahan di situ. Itu tetesan pertama maniku. Aku menghela nafas. Lalu melepas kaos.
"Tunjukin dong penismu" kata Mbak In, lalu duduk di kursi rias itu. Aku mendekat.
"Badanmu bagus, Gus. Atletis".
Aku bersyukur, mempunyai tinggi 175 cm dengan berat 75, dan otot yang masih kencang.
Lalu dia meraba celanaku, lalu tonjolan penisku. Kemudian memelorotkan celanaku. Tuingg! Begitu celana dalamku merosot, maka batang penisku turun, tertarik ke bawah sesaat, untuk kemudian tegak mendongak. Dia memandangi penisku.
"Pegang Mbak", kataku.
Mbak In nggak langsung menggenggam. Tapi merentang jempol dan kelingkingnya seperti mengukur panjang.
"Kayak pisang", katanya.
Lantas jempol dan telunjuknya melingkari pucuk penisku. Jarinya lentik, kukunya panjang terawat. Sexy juga ternyata. Kemudian dia menggenggamnya, tidak terlalu keras, sesaat saja, lalu dilepas.
"Hangat ya..", bisiknya mesra.
Kami sama-sama mengambil nafas. Aku menjauh sedikit. Baru sekarang terasa dinginnya AC kamar. Tapi aku tidak mau terburu-buru. Aku ingin mengulur tempo dan menikmatinya lebih lama, soalnya kan lagi ngajarin Mbak In.
"Ke sofa lagi yuk Mbak", ajakku. Dia tersenyum. Lalu aku gandeng. Kami duduk berdua. Berhadapan. Aku cium bibirnya, dan kemudian matanya.
"Haus Mbak", bisikku.
"Iya Gus.., tenggorokanku juga kering".
Mbak In berjalan menuju kulkas, mengambil orange juice kemasan botol. Kami minum bergantian dari botol yang sama. Lalu bersandar ke sofa, sama-sama diam. Tidak terasa sudah satu setengah jam lebih berlalu sejak acara pembukaan di cermin rias tadi. Nafasku kembali normal. Tapi penisku kembali mengendur, memang begitulah alam mengaturnya.
"Kok jadi kecil lagi?".
Aku tersenyum, "Memang gitu Mbak. Entar gede lagi. Mbak juga mengecil lagi klitnya pasti. Cairan vagina juga berhenti ngalir kan?". Dia mencium pipiku.
"Sini Mbak", kataku.
"Gimana lagi?", dia keheranan.
Dia kuminta untuk berdiri, kemudian aku dudukkan di pangkuanku. Tangan kananku menyangga punggungnya, tangan kiriku menyangga kakinya. Seperti membopong sambil duduk. Kami berciuman. Lipstiknya mulai menipis.
"Apa sih yang kamu sukai dari tubuhku Gus?". Aku menjawab dengan menciumi lehernya.
"Geli, nikmat, ahh..".
Kemudian dia kubalikkan, menghadap ke depan, tetap dalam pangkuanku di sofa. Aku pegang payudaranya. Aku mainkan puting susunya.
"Ternyata Mbak In itu hangat ya?".
"Bukan kulkas, gitu?".
"Iya. Mbak juga penuh pesona kewanitaan".
"Bener?".
"Mbak ternyata punya nafsu..".
"Iya dong", ia berbisik.
"Mbak suka masturbasi juga?".
"Iya dong. Seminggu sekali, bisa dua kali, pernah tiga kali. Aku tahu masturbasi sejak umur 20, dulu sih 3 minggu sekali. Akhirnya mulai umur 30 gairahku malah bertambah. Kadang aku bayangin temen-temen cewek itu, udah kenal penis umur 20, sampai sekarang udah bersetubuh berapa kali coba? Sementara aku cuma bisa masturbasi".
"Mbak mau dimasturbasi nggak?". Dia mengangguk.
Lalu kakinya kukangkangkan, dengan posisi tetap jongkok di pangkuanku. Aku ajak dia bekerja sama, jemari dan telapak tanganku untuk memainkan vulvanya, tapi yang menggerakkan tanganku adalah tangannya. Luar biasa. Aku jadi tahu bagaimana si Mbak memburu nikmat. Mulanya memainkan clit. Lantas labia majora. Mulanya gerakannya pelan. Akhirnya kencang, maju-mundur, berputar-putar, sampai tanganku pegal.
Lima belas menit berlalu, si Mbak sudah mendesis-desis, sampai akhirnya tubuhnya mengejang sejenak. Kuambil telapakku, aku ciumi dengan hidung dan mulut. Basah penuh aroma.
Mbak pingin apa sekarang?".
"Ouhh.., pake nanya. Terserah..".
Dia kuberdirikan. Aku berlutut di depannya. Aku cium paha kanannya, lalu kiri, lalu kanan, lalu pusarnya. Dia cuma ah-uh-ah-uh saja. Aku ulangi terus, kira-kira lima menit lamanya.
Akhirnya dia tidak sabar lagi. Kepalaku ditarik olehnya, lalu mukaku ditempelkan ke bulu vaginanya. Aku cuma menggesek-gesek hidung di rumput lebat itu. Lantas dia mengangkat satu kakinya di sofa, kaki yang lain tetap berdiri menyangga tubuhnya di lantai. Dengan pelan aku gesekkan hidungku ke clit-nya, lalu labia majoranya. Aku merasakan vulva-nya yang kian basah itu. Aku bisa merasakan bahwa bertambah basahnya vulva Mbak In bukan karena saliva-ku, akan tetapi terlebih karena dari lubang vagina itu memang membanjir cairan encer. Begitu banyak cairan yang merembes, sehingga aku bisa menghirup sambil menyedotnya. Slurping, kata orang bule.., Segar juga. Mungkin inilah jamunya seorang pria, cairan vagina wanita lajang yang masih virgin.
Mbak In tidak kuat dengan perlakuanku, kakinya sampai gemeter, lalu dia duduk di sofa. Kepalaku menyeruak masuk. Kedua pahanya kuangkat pakai tangan. Kini dia duduk bertambah maju sedikit. Kedua kakinya terangkat, sampai bagian belakang lututnya bertumpu pada pundakku. Aku julurkan lidahku di depan vulvanya yang basah itu, cuma di depannya, belum menempel. Masih jauh, malah. Kira-kira sejengkal dari sasaran. Aku diam terus sambil menjulurkan lidah. Mbak In jadi gemas dibuatnya.
"Cepet dong. Kamu jahat, Gus. Aku udah nggak tahan..".
Ya, tunggu apa lagi? Dengan kedua jempolku aku rentang labia-nya. Merah tua kecoklatan, mengkilat basah. Clit-nya mengeras, seperti biji kacang garing. Ah nggak, clitoris manis ini seperti kacang mete, begitu pula ukurannya.
Dengan pelan kutempelkan ujung lidah ke clitorisnya yang mulai keras itu. Cuma menempel, tidak kugesekkan, tidak kujilatin.
"Auhh.., geli.., nikmat.., terus dong", katanya.
Sekarang lidahku mulai bermain. Clit itu aku jilati. Tubuhnya bergetar. Lidahku terus menjelajah ke labia majora, ke seluruh vulva, sampai banjir permukaan vaginanya, karena campuran saliva dan cairan vagina. Dia terengah-engah.
"Ouhh..", Mbak In cuma bersuara begitu. Pertama-tama Mbak In aku minta mengocok penisku sampai tegak sempurna. Lima menit kemudian penisku tegang kembali. Air maniku sudah mendidih rasanya. Aku rebahan di ranjang. Mbak Indriani di atas, meniduriku.
"Ayo Mbak tindih aku, pelan-pelan aja, digesekin tuh memek Mbak, kayak onani".
Dia menurut saja. Naik turun, maju mundur, akhirnya kini vagina Mbak In telah telah basah. Penisku basah. Sudah deh, tidak ada foreplay lagi. Yang penting kini vaginanya sudah basah. Kemudian aku biarkan sendiri nalurinya sebagai wanita dewasa yang matang menuntun birahinya yang menyala-nyala semerah dinding dalam liang vaginanya.
Mula-mula penisku cuma masuk dua senti. Seret dan licin. Asyik juga. Mbak In merem melek. Cabut lagi, masuk lagi. Vaginanya semakin basah. Lubang vaginanya makin longgar. Kudorong lagi hingga bertambah 1 senti. Mbak In merem melek. Kuulang-ulang terus, aku lupa berapa kali, sampai akhirnya "slepp..", burungku menembus pelan vagina si perawan tua yang selalu membuatku onani setiap hari itu.
"Nggak sakit Mbak?", tanyaku.
"Nggak", bisiknya.
Iya dong, mainnya pelan, vagina sudah longgar dan banjir, mana bisa sakit. Soal memuaskan wanita, aku mempunyai banyak pengalaman. Meski tidak keluar darah, tanpa rasa sakit, aku yakin inilah kali pertama vagina terhebat di dunia ini kemasukan penis.
Dengan jari kuelus permukaan vaginanya. Dia menggelinjang. Dua jempolku kembali menempel di kedua sisi bibir vaginanya, sehingga bisa merentang mulut vagina.
"Namanya apa sih Mbak?", aku menggoda.
"Bego kalo kamu nggak tahu!".
Aku terus menggoda, "Namanya apa sih? Sebutin dong, Mbak..".
"Payah kamu! Udah sering ngerasain, sering nyoba, masih nggak tau juga".
Aku diam saja, nggaktidak melakukan tindakan pada pemandangan di depan mukaku itu.
"Apa dong Mbak namanya?".
"Tauk ah!".
"Apa dong?".
"Dikira-kira sendiri. tau?".
"Apa dong?".
"Ahh.., bawel amat sih!".
"Apa dong.., lleelelelhett.., sebutin dong llelelelelhet", aku menggodanya sembari memainkan lidah di labia dan kclit.
"Auhh.., gila. Nakal".
"Apa dong, clat, clat, clatt..", lidahku semakin nakal, lalu aku hentikan.
"Kamu sendiri nyebutnya apa Gus?".
Aku jawab, "Vulva, ada klitorisnya, ada labia majora dan minoranya..".
"Uh kayak guru biologi aja, Gus. Pake nama latin segala..".
"Habis apa dong..".
"Malu ah.., udah tahu kan? Tabu buat disebutin, tapi aku sering ngebayangin juga sih..".
"Kok ngebayangin?".
"Iya, kalo lagi masturbasi aku sering mendesis-desis nyebutin kata-kata tabu, sambil memacu diri menuju orgasme bersama pria seksi.., Rasanya pingin ngelepasin semua hambatan gitu. Kamu ini mulai mancing ya?".
"Maksud Mbak?", aku tanya sembari menjilati bagian basah itu.
"Iyah, aku kan sering ngebayangin hal-hal yang terlarang termasuk ucapan-ucapan terlarang. Jadinya kalo lagi on, waktu masturbasi, ya nyebutin satu demi satu bagian terlarang.., Ahh kamu nakal, lidahmu pintar, udah sering yahh. Aduh.., geli!".
"Hmm.., ayo dong Mbak..".
"Iyahh sekalian basah, sekalian dibuka deh rahasia ini. Kalo lagi masturbasi aku sering nyebutin ini.., Aahh geli, nikmat terusin.., Aku sering nyebutin ini.., Ah kamu nakal!".
Iya, gimana bisa ngomong lengkap, kalau mulutku semakin aktif dan binal menggarap pusat kewanitaannya?
"Aku sering berbisik, kadang juga berteriak, sih.., Itil, memek, jembut, burung, mani, itil, memek, burung, jembut, Gus!".
"Lagi Mbak..", Aku senang mendengar kata-kata tabu itu.
"Memek, iyaa.., me..mheekk.., iitt..theeiill.., jemm boutt.., kuonn..tuuoll.., Gila nikmat banget teknik oralmu!".
"Ini Mbak burungku!" Aku berdiri, aku mengacungkan penisku ke mukanya.
"Woouwww.., tambah gede. Udah ngerasain berapa memek nih?".
"Pegang Mbak.." Dia memegangnya. Lalu mengelus. Akhirnya mengocok pelan.
"Isep dong..".
"Ah nggak. Entar ajah.., Aku masih takut..".
Aku tidak mau main paksa. Aku sadar sedang mengajari cewek mengenal pengalaman pertama. Biar umurnya sudah matang, tapi pengalaman masih nol. Lalu Mbak In kuminta jongkok di mukaku, sementara aku rebahan di karpet, kepalaku diganjal bantal.
"Sekarang Mbak yang aktif ya.., anggap aja lagi onani..".
Wow! Tanpa penjelasan lebih lanjut dia langsung memainkan kemaluannya di mukaku, terutama di hidung dan mulutku. Namanya saja naluri? Biar tidak pengalaman, masih perawan, tapi kalau usia sudah matang, juga dia sering nonton film porno, sehingga tidak rikuk lagi menghadapi hal tersebut. Mbak In jadi pintar dalam waktu sekejap. Kadang dia jongkok mengambang, sehingga kemaluannya cuma mengambang di mukaku, tapi kadang juga menekan seperti menduduki wajahku. Begitu banyak cairan membajir dari liangnya.
Sekitar 10 menit hal itu berlangsung. Maju mundur, geser kanan kiri, berputar, begitu terus. Sampai akhirnya.., "Ahh gila.., mhemm..mhekkuu.., itt..tillku.., Auhh.., Memek! Itil! Ayo jangan berhenti.., aku nggak kuat Gus!".
Ah ini dia awal orgasme hebat. Tubuhnya mulai mengejang. Lalu kedua lutut Mbak In tergetar. Tidak ada suara dari mulutnya. Kemudian tubuhnya membungkuk. Dan akhirnya setengah telungkup di atas tubuhku. Kurasakan cairan vagina terus membanjiri wajahku, memasuki hidungku, tertelan oleh mulutku. Tubuh Mbak sudah basah oleh peluh.
"Terima kasih, Gus..", bisiknya.
Dia menggelindingkan tubuh di sampingku. Nafasnya tersengal-sengal. Aku bangun berdiri. Dia masih rebahan. Kupandangi tubuhnya yang mengkilat, dengan kaki mengangkang dan lengan terentang hingga ketiaknya yang lebat itu tampak. Ah indahnya kejalangan seorang Mbak In!
Dia memandangi penisku yang teracung tegak. Aku pegang batangku. "Jangan sekarang", katanya. Aku mengalah. Padahal nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun.
Lantas Mbak In kubimbing untuk berdiri, duduk di sofa, dan aku ambilkan minuman untuknya.
"Thanx..", katanya.
"Mbak capek?", tanyaku. Dia mengangguk.
"Sini aku pijitin", kataku.
Dia menurut ketika aku telungkupkann tubuhnya di sofa. Aku mulai memijat kakinya, lalu pinggangnya, dan punggungnya.
"hh.., nikmat.., kamu pinter, Gus".
Saat itu penisku mulai mengendor. Nafsuku mulai berkurang.
Sekitar seperempat jam itu kupijati dia. Kini giliran mulut dan hidungku menciumi punggungnya, pinggangnya, pantatnya, dan entah apa lagi, pokoknya oral seks kupraktekkan lagi. Lendir mengalir membanjir. Penisku menegang lagi. Beberapa tetes mani beningpun keluar karena tidak tahan oleh birahiku yang kian menggila.
"Aku basah Mbak", kataku.
Mbak In menoleh melihat penis tegakku yang pucuknya basah. Dia terbelalak. Lagi-lagi posisi tadi berulang. Bau keringat dan cairan vagina bercampur. Aku tidak tahu sudah berapa cc menghirup lendir encer yang keluar dari lubang vagina si perawan tua ini. Beberapa kali dia mengejang. Mungkin empat kali. Dan puncaknya adalah, "Mememekku Guss.., Itiillku.., nggak tahan. Itillkuu mauu lepass.., Auh!".
Dia orgasme hebat. Vaginanya seperti menyempit tiba-tiba.
Kami sama-sama lelah. Lalu beristirahat.
"Mandi air hangat yuk", kataku.
Kami ke kamar mandi, menyegarkan diri dengan shower. Tanpa percumbuan, tanpa birahi, tanpa nafsu. Saling menyabuni dan mengeramasi. Penisku sudah mengecil.
"Lucu ih", kata Mbak In sembari meremas penisku yang terkulai. Lalu kami tidur. Berpelukan dalam kamar sejuk ber-AC. Dengan segera aku terlelap karena kecapean.
Kami tertidur, sudah jam 3 pagi lebih. Capek dan ngantuk sekali. Ototku seperti terurai. Kami berpelukan di ranjang Mbak In, ranjang perawan tua yang selalu kesepian, menjadi saksi tiap kali si lajang onani karena diamuk birahi, menjadi saksi tiap kali beberapa helai bulu vaginanya rontok saat digusel oleh tangannya sendiri.
Di kamar ber-AC itu kami terlelap. Aku benamkan wajahku di ketiaknya yang lebat. Entah jam berapa aku tidak tahu karena Mbak In membangunkanku.
"Ini apaan? Kamu ngompol yah?", tanyanya. Ternyata sprei telah basah oleh maniku, sebagian menyentuh pantat Mbak In.
"Ini maniku Mbak. Habis tertahan terus sih di dalam akhirnya cari jalan keluar sendiri. Aku sih nggak tahu, soalnya lagi tidur tadi", kataku tersipu.
"Ih hangat dan lengket ya", katanya.
"Bayangin aja kalo ini mengalir ke memek Mbak", kataku.
"Nakal kamu", dia mencubitku.
Dengan tissu kubersihkan ceceran maninya. Setelah itu aku tertidur lagi karena masih mengantuk. Mbak In sepertinya juga tertidur.
Pagi hari, ketika sudah agak terang, aku terbangun. Ternyata Mbak In sudah mandi, lagi make up di depan cermin.
"Aku harus masuk kerja", katanya. "Padahal capek nih" lanjutnya.
Kupandangi dari ranjang. Tubuh yang kencang itu kuamati dari belakang. Inilah pesona si perawan tua. Dia cuma memakai celana dalam dan BH-nya hitam tipis mungil berenda. Oh, seksi sekali! Tak terasa penisku berdiri lagi.
Aku bangkit dengan senjata teracung. Aku hampiri Mbak In. Kupeluk dari belakang. Aku ciumi lehernya, ketiaknya sambil tanganku mengelus payudaranya yang kecil.
"Ah, jangan Gus, aku lagi make up nih.., nanti rusak make up-ku".
Aku membisikinya, sambil menjilati telinga kirinya, "Janji deh Mbak make up nggak rusak, tapi dapet kenikmatan yang banyak diperoleh para cewek di kantor Mbak pada pagi hari..".
Oh, aku kian merapat ke tubuhnya. Tapi tidak bisa mencium pipi dan bibirnya, takut kalau make up-nya rusak. Yang penting bisa menikmati bulu ketiaknya yang luar biasa itu dengan hidung dan mulutku. Penisku semakin tegak berdiri. Tanganku mengelus puting susu si perawan tua yang makin mengeras ini.
"Kamu terlalu, Gus", bisiknya.
"Terlalu nikmat ya?", tanyaku.
Aku terus memeluk dari belakang. Tanganku menggusel payudara mungilnya yang keras, payudara 42 tahun yang tidak pernah merasakan kenakalan lelaki muda. Hidungku merasakan sensasi gila yang luar biasa, bulu ketiak yang hitam lebat dan panjang.
"Ketek gini kok dianggurin bertahun-tahun sih Mbak", tanyaku.
"Dianggurin gimana?", tanyanya.
"Ya dianggurin dalam arti nggak pernah diciumin laki, nggak pernah digosokin burung".
"Heh, burung main di ketek? Bisa? Coba dong..".
Make up-nya Mbak In sudah selesai. Sekarang dia duduk di kursi rias, lantas kedua lengannya diangkat sehingga bulu ketiaknya tampak jelas. Penisku yang tegang, aku gosokkan ke ketiaknya. Wuahh.., hangat, lembbut, seperti menyentuh bulu vagina. Mbak In melihatku dengan pandangan mesra. Penisku semakin besar dan mengeras. Ingin sekali rasanya minta penisku dicium, dijilat lalu dihisap olehnya. Tapi nanti dulu, si perawan tua ini harus dilatih. Kalau serba mendadak bisa trauma nanti dan jadi alergi dengan penis.
Akhirnya aku tidak tahan juga. Rasanya maniku sudah mendidih. Belum pernah aku onani memakai bulu ketiak, dulu aku tidakak suka dengan cewek yang ketiaknya berbulu. Karena tidak sabar aku gesekkan penisku ke ketiaknya sambil kukocok.
"Mbak aku udah nggak kuat, bayangin dari semalem cuma nahan burung supaya nggak masuk memekmu, jadi gimana dong..". Mbak In tersenyum.
"Mbak, bantu dong Mbak", pintaku. Tangannya meraih penisku lalu mengocoknya pelan.
"Cepat Mbak. Dia menurut. Terus Mbak..".
"Aduh pegel nih.., gantian tangan kiri ya..", Aku tidak bisa berkata apa-apa cuma mengangguk. Air maniku yang mendidih tadi tidak jadi keluar. Yang pasti rangsangan yang kuterima semakin kuat.
Mbak In mulai berkeringat. Uh, tambah cantik melihat si perawan tua yang berberbulu ketiak lebat ini berpeluh. Ketiaknya juga basah, payudaranya juga.
"Tanganku capek..", katanya. Ya sudah aku kocok sendiri penisku.
"Kamu pingin apa Gus?", tanyanya.
Aku bilang, "Pokoknya pingin nikmat, tuntas, sampe orgasme dan maniku terkuras abis".
"Tapi aku belon siap buat bersetubuh. Memekku belon siap dirobek selaputnya. Belon siap disembur cairan lelaki..", katanya manja.
"Yah gimana Mbak, aku nggak bisa mikir nih". Mbak In jongkok. Mengamati dari dekat caraku mengocok penis. Mulutnya ternganga.
"Oh gitu ya.., gila..", katanya. Aku sudah tidak tahan.
"Awas Mbak mau muncrat nih!", Mbak In terbelalak.
Aduh bagaimana kalau mani ini nanti kena mukanya, kena bibirnya. Dia kan masih perawan. Vaginanya saja belum pernah disembur mani, kok muka dan mulutnya, kasihan..
"Terus Gus!", katanya.Tangannya menyingkirkan tanganku.
"Biar aku aja", katanya. Aku nurut saja.
Tangan lembut berjemari lentik itu mengocok penisku pelan-pelan. Aku sudah tidak tahan.
"Cepetan Mbak!", kataku. Dia semakin cepat mengocok penisku.
"Mbak angkat dong lengan kiri. Aku mau lihat ketiakmu yang lebat itu..".
Jadilah dia jongkok sambil mengangkat lengan memamerkan ketiak hebat yang berbulu luar biasa. Aku semakin bernafsu. Akhirnya aku cuma bisa berkata, "Awass..". Dan "Crat.., crat.., crat", air maniku muncrat keras, banyak, dan kental. Mbak In sempat menarik muka menjauh, tapi payudaranya yang mungil dan kencang itu terkena semprotan air maniku.
"Uh, yang namanya mani ternyata hangat ya..".
Dioles-oleskannya air maniku ke seluruh payudaranya.
"Kok lengket ya.., Kayaknya superglue, hihihik.., Gimana kalo misalnya masuk ke memekku.., Ih aku harus ganti beha nih..".
Mbak In masih terheran-heran oleh air maniku, benda yang baru dilihatnya ketika usianya sudah 42 thn. Dalam ruang ber-AC mani yang teroles rata di payudaranya cepat mengering.
"Wahh.., ini rupanya krim pengencang tetek. Di kulit kenceng rasanya, Gus..".
"Buat facial juga bisa Mbak. Makanya di VCD selalu ada facial cumshot..".
"Ih, nakal deh kamu", katanya sambil mencubit pipiku.
Aku capek sekali. Terima kasih Mbak In sayang, perawan tuaku. Pagi itu kami berangkat bersama dan sepakat untuk ketemu lagi buat belajar seks. Kami sering bertemu. Jalan-jalan, makan, nonton, seperti orang pacaran. Lalu ya biasalah main seks tanpa persetubuhan. Hal itu berlangsung 5 bulan. Kami bertemu seminggu 2 kali. Oral seks itu rutin. Hanya aku yang melakukan oral seks pada dia, dianya sendiri tidak pernah melakukan oral pada penisku. Ini prestasi buatku. Kencan sudah hot, tapi tidak ada persetubuhan. Vagina Mbak In bisa dijilat dan dihisap sampai kering, tapi keperawanannya masih tetap terjaga. Air maniku sudah bocor berkali-kali, tapi tidak setetespun yang menyelinap ke cervix si lajang hangat bernafsu kuat itu. Maka hanya cunnilingus (tanpa diimbangi felatio) yang selalu berlangsung.
Tak apa. Aku sendiri suka bisa mengerem nafsu, sekaligus belajar memperoleh kepuasan tanpa menancapkan penis ke lubang vagina yang tiada henti mendambakan kenikmatan, lubang vagina yang sebetulnya memendam iri pada vagina wanita lain yang sering dijejali penis dan ditumpahi mani hangat. Tapi, yah.., vaginanya saja belum kena penis, masak mulutnya sudah dimasukkin penis, Kasihan kan? Pemanasan kami tentu dengan nonton BF di VCD. Aku kan punya banyak koleksi film BF. Juga dari majalah.
Ternyata Mbak In si perawan tua ini punya beberapa majalah hot. Katanya sih seperti surat kaleng mendapatkannya. Diposkan ke rumah tanpa nama pengirim. Dia menduga dari cewek-cewek di kantornya yang baru saja pulang dari luar negeri. Majalah itu menjadi bahan onaninya Mbak In. Atau juga onani kami berdua. Muncratnya air maniku ya paling-paling di payudara mungilnya, atau di perutnya, pernah di pusarnya dan ceceran air maniku itu merambat ke bulu superlebatnya.
Hari itu Mbak In genap 42 tahun. Cuma kami rayakan berdua saja di sebuah restoran di hotel berbintang lima. Dia seksi sekali malam itu. Memakai sack dress ketat tanpa lengan, tanpa BH. Karena dia punya kebiasaan menyibak rambut, sehingga bila lengannya terangkat, maka ketiak hebat itu tampak. Aku lihat pelayan restoran dan pengunjung lain pada ngeliatin. Mbak In sendiri sepertinya bangga dengan ketiaknya sekarang.
Pulang dari restoran kami bercumbu, seperti biasanya. Pakai oral, pakai kocok-kocokan, hingga air maniku mau habis. Mbak In sudah terbiasa dengan muncratan mani. Dibiarkannya air maniku membasahi payudaranya bahkan lehernya. Kadang di perutnya, tepat di pusar. Mbak In makin pintar. Cara mengocoknya semakin hebat. Paduan irama lambat kadang cepat bisa menguras maniku. Kadang penisku digesek-gesekkannya ke ketiak lebatnya, ke payudara mungilnya. Air maniku pernah menetes di ketiaknya. Habis nikmat sih, seperti menggesek bulu vagina.
"Hari ini aku genap 42 tahun, Gus. Jadikan aku wanita selengkap-lenglapnya" pintanya, setelah kami istirahat karena kecapekan.
Hari sudah menjelang pagi. Tapi penisku masih bisa berdiri tegak. Inilah saatnya untuk membobol si perawan tua ratu jembut yang jago onani itu, yang vaginanya merindukan sodokan dan elusan batangan daging bertulang lunak, dengan moncong water canon yang siap menembakkan cairan kental yang kencang di kulit wanita. Aku tentu saja mengiyakan.
"Terserah caramu, asal nikmat", katanya.
Di atas tubuhku Mbak In bergeser pelan, memutar pinggul, goyang kanan kiri. Serba pelan. Kali ini dia tidak banyak bicara. Cuma merem melek sambil ah.., uh.., ah.
Akhirnya aku tidak tahan. Vagina perawan tua itu tiba-tiba seperti menyempit dan menyedot penisku.
"Mbak, Aku mau keluar., Mbak!", Mbak In cuma menciumku dengan mesara. Keringatnya menetes di wajahku. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Rasanya seluruh cairan kelelakianku tersedeot. Seluruh tubuhku seperti diperas. Inilah orgasme hebat yang jarang kualami. Ternyata aku tidak muncrat, cuma mengalir pelan tapi banyak maninya. Saat itu juga Mbak In orgasme. Tubuhnya mengejang, menggelepar di atas tubuhku, dengan keringat membasahi tubuh. Bau ketiaknya kian merangsang.
Dia terpejam menikmati orgasmenya yang pertama kali lewat persetubuhan.
"Oh indahnya. Terima kasih Gus", katanya.
Tidak ada jeritan liar yang menyebutkan segala genital dalam bahasa sehari-hari. Tidak ada teriakan tertahan. Semuanya begitu lembut, hangat, dan indah. Aku merasa seperti perjaka yang kelepasan kemurniannya. Kalo Mbak In sih jelas, perawan tua yang terlepas keutuhannya, dengan lembut, tanpa robekan selaput yang menyakitkan, tanpa darah karena koyakan.
Sampai terang matahari kami masih berpelukan. Kami berdua bolos kerja. Mandi berdua pakai air hangat, alangkah segarnya. Lalu tidur. Siangnya setelah makan kami bersetubuh lagi. Aku yang di atas. Air maniku masih bisa membanjir, menggenangi vaginanya. Lalu istirahat. Sore bersetubuh lagi.
Hari-hari selanjutnya persetubuhan menjadi rutin. Entah sudah berapa cc air maniku mengalir ke vagina perempuan berusia 42 tahun ini, tapi masih seperti vagina gadis remaja karena tidak pernah dipakai itu. Semua adegan BF kami tiru, kami coba. Mbak In makin pintar. Juga makin buas. Indriani si jembut lebat, dengan vagina coklat dan clitoris sebesar mete ini memang wanita yang tepat untuk menguras syahwat. Indriani, kenapa sih birahimu kau simpan sekian lama, tersembunyi dalam vagina gelap dan bulu lebatmu? Demi karierkah kau menahan nafsu betinamu? Kau buang hari-harimu tanpa merasakan cipratan mani dan sodokan penis pada cervix-mu.
Aku semakin terikat padanya. Aku makin menyayanginya. Inikah cinta? Sayang seribu satu sayang, Mbak Indriani si lajang kesepian bersyahwat dahsyat itu tidak pernah membicarakan soal asmara. Tak adakah cinta di kamus hatinya? Tak adakah cinta di ujung vaginanya, agar kelak bisa berbuah janin?
Banyak sudah variasi yang kami lakukan. Hanya satu yang belum. Mbak In membiarkan mani muncrat di wajahnya, begitu pula kepada mulutnya, padahal aku ingin sekali, karena setiap kali masturbasi itulah termasuk yang kubayangkan.
Hari ini ulang tahunku ke 25. Kami bercinta. Waktu ditanya apa permintaan istimewaku, maka aku jawab, "facial cumshot kayak di VCD porno".
Surprised! Mbak In mau. Tapi dengan syarat aku harus bisa membuatnya orgasme terlebih dahulu. Ya maka kami bersetubuh dengan posisi dia di atas.
Berkali-kali dia mengingatkan, "Awas, jangan muncrat dulu Gus..!".
Kalu aku sudah mau keluar, Mbak mencabut vaginanya, lalu meloncat dan menggesek-gesekkan vaginanya ke mukaku. Mulutku melumat habis vagina dan clitoris-nya sampai aku minum cairan vaginanya banyak sekali. Begitulah sampai akhirnya dia klimaks, sambil bicara keras.
"Akan aku habisin manimu.., manniimuu.., mhann..nhii..muu.., spermaamu.., pake mulutku untuk pertama kalinya Gus!".
Semoga tetangga tidak ada yang mendengar. Mbak In kalau sudah di puncak birahi memang tidak bisa mengontrol diri. Pingin teriak yang tabu-tabu. Kadang setengah menjerit, "burungll" atau, "Memekku! Memekku! Memekku..".
Tapi aku justru malah senang. Malah tambah terangsang. Aku paling suka kalau melihat dia menjadi jalang, jadi budak birahi. Nah begitu selesai klimaksnya dengan banjir cairan vagina, Mbak In langsung melumat penisku.
Inilah kelebihan wanita. Biar belum pernah melakukan oral seks di penisku, toh terampil juga. Dia hisap, dia kocok, dia jilat, sedot, lumat, kocok, sampai akhirnya aku tidak tahan. Menjelang puncakku, Mbak In melepaskan mulutnya. Si lajang penuh birahi itupun turun dari ranjang, lalu bersimpuh di lantai. Aku disuruhnya bangun dan berdiri. Maniku sudah tidak tahan. Lalu dia mengocok lagi penisku sambil jongkok, sementara aku berdiri.
"Mbak pake satu tangan aja. Tangan Mbak yang satunya diangkat, biar aku muncrat sambil menikmati jembut ketek yang fantastis itu..", pintaku. Oh, dia menurutiku. Maka tangan kiri mengocok pelan penisku, tangan kanan terangkat, merentang lengan, sampai ketiaknya terlihat jelas. Penisku semakin menegang. Jilatannya makin gila. Kocokannya makin habat.
"Mbaak..", aku menjerit tertahan. Semuanya berlangsung cepat. Maniku muncrat, "Crat.., crat.., crat", Masuk ke mulutnya, tapi tidak tertampung semuanya. Jadilah membasahi pipi dan hidungnya. Bibirnya belepotan mani. Sebagian menetes ke payudaranya yang mungil tapi keras kenyal itu.
"Enak juga mani ternyata", katanya setelah kami terengah-engah duduk di lantai. Kami istirahat.
Pagi esoknya ketika aku masih tertidur, aku terbangun. Karena ternyata penisku sudah dihisap si lajang 42 tahun yang sekarang haus mani itu.
"Iya Mbak ini jamu, biar awet muda. Buat facial bisa bikin wajah kiencang", kataku.
"Katanya sih gitu. Temen-temen itu juga pada minum mani dan dipakai buat cuci muka", katanya sambil terus mengocok penisku.
Akhirnya maniku mengalir dan menjadi jamu yang langsung dihisep semuanya. Mbak Indriani memang hebat. Kali ini tidak ada air maniku yang tercecer. Semuanya masuk ke mulut dan ditelannya. Eh, tidak semua sih. Jarinya sempat masuk ke mulut, lalu mengoleskan mani encer itu ke puting susunya. Sebagai hadiah, aku oral vaginanya. Aku sibak bibir besar di mulut vaginanya dengan jari, lalu mulut aku runcingkan, dan srupp.., masuk ke pintu liang vaginanya. Lidahku menjilat, mulutku menyedot. Semua bagian terkena, dinding luar vagina, labia mayora, labia minora, clitorinya yang sebesar kacang mete itu. Dan terakhir.., aku masukkan pula jariku, berputar-putar di dalam, menggapai G-Spot Mbak In, sementara bibir dan lidahku menggarap daerah pembangkit birahinya. Tentu saja Mbak Indriani jadi blingsatan.
Ketika dia menjerit, "Itilkuu lepas..", saat itulah vaginanya membanjir dan membasahi tenggorokanku, asem asin rasanya. Dan bulu vaginanya itu basah kuyup, oleh campuran lendir vagina dan ludahku. Hari ini memang nikmat sekali.
Setelah itu, hari-hari selanjutnya, seks kami makin gila. Kalau main 69 seringkali sampai air maniku muncrat di mulut mungilnya itu. Tapi Mbak In masih haus variasi. Pingin seperti di BF yang bermacam-macam gaya.
Sudah enam bulan hubungan kami terjalin, dengan penuh birahi dan mani. Mbak In seperti orang yang baru mengenal seks. Memang ya, baru kenal. Makanya keranjingan bersetubuh. Maunya penis dan mani. Beginikah kalau wanita dewasa melajang terlalu lama, obsesinya cuma penis dan mani lelaki, dan yang namanya onani tidak memuaskan dirinya sendiri.
Suatu kali Mbak punya permintaan gila, ingin main bertiga dengan cewek lain. Aku yang harus mencari ceweknya. Tapi itu soal kecil. Aku dulu, sebelum sama Mbak In, suka jajan, jadi punya langganan cewek nakal. Langgananku yang aku sukai adalah Susi. Tubuhnya sintal, kulitnya putih, payudaranya 38, bulu vaginanya tipis, vaginanya merah. Dia jago oral seks. Aku mengontak ke handphone Susi dan dia setuju. Kami janjian di motel Pondok Nirwana di Cawang. Ngakunya sih dia juga kangen.
Di motel aku dan Mbak In check in ke kamar VIP, menutup rolling door, lalu nonton video yang disiarin di TV yang tergantung di atas. Isinya orang bersetubuh, kebetulan main keroyokan, satu pria menghadapi empat perempuan. Puncaknya air maninya menjadi rebutan empat mulut mungil. Wah aku juga mau tuh! Sambil nonton kami petting. Aku cuma memakai celana dalam. Mbak In memakai lingerie satin putih yang tembus pandang, sehingga bulu vaginanya lari kemana-mana.
Ketika Susi datang, Mbak In seang pipis. Tidah tahu, kenapa lama sekali di toilet ya. Padahal begitu Susi datang kami langsung berciuman karena kangen. Ketika berpelukan aku tambah ereksi. Susi memakai rok mini dan koas you can see ketat. Langsung kulepas CD-ku.
"Ya ampun Gus, udah napsu banget ya.., Apa nih, minta diisep dulu apa langsung tancep ke memek?".
Aku tidak menjawab, Susi langsung jongkok mengisap penisku. Sambil dikocoknya pelan. Sudah biasa tuh kami kencan di sini. Ketika sedang nikmat-enaknya dioral, eh Mbak In keluar. Susi tentu saja kaget dan malu. Dia salah tingkah. Mbak In segera mengatasi keadaan.
"Nggak usah malu, Sus. Ini memang mauku. Aku pingin belajar dari kalian".
Lalu aku menjelaskan kalau kami butuh selingan. Aku mengaku kami ini pengantin baru. Susi agak heran, kok aku memanggil "istriku" itu Mbak. Tapi namanya saja bisnis, Susi minta tambah. Kalau sendirian melayani aku Rp 300.000, maka kali ini minta Rp 500.000.
Mbak In karena nafsunya sudah di ubun-ubun, mengiyakan saja. Uang dia kan banyak.
"Aku udah sediain cash cukup kok hari ini..", Hebat juga si jembut lebat ini, bisa mengantisipasi.
"Mbak pinginnya gimana?", tanya Susi.
Ternyata Mbak In maunya melihat dia striptis, setelah itu pingin melihat dia bersetubuh denganku. Susi mau. Aku dan Mbak melihat striptisnya dari ranjang sambil saling merangsang. Makin hebat striptisnya Susi, Mbak In makin basah. Padahal Susi belum telanjang.
Ketika Susi telanjang, Mbak In kian terbakar. Dia meniru Susi mempermainkan payudara dan puting susunya. Dia juga meniru waktu Susi memasukkan dua jari ke vagina lalu menjilatinya. Aku tentu saja makin ereksi.
"Oh gini rupanya cara merangsang lelaki", kata Mbak In. Ketika Susi nungging, lalu memasukkan jarinya ke vaginanya dari belakang, Mbak In menirukannya. Waktu Susi menyodorkan telapak tangannya untuk minta ludahku, yang mana tangan basah itu akhirnya dia oleskan ke vagina dan anusnya, Mbak In juga ikut. Jadi kering tuh tenggorokanku. Susi sambil nungging memasukkan jari ke anusnya, Mbak In mengikutinya. Hanya satu yang Mbak In tidak bisa, menjilati putingnya sendiri.
Akhirnya aku punya ide. Susi aku minta berdiri, mengangkat lengan, lalu menjilati ketiaknya. Mbak In yang duduk bersandar di atas kasur ikut mencobanya. Wow, seksi sekali. Ketiak lebat itu basah oleh jilatannya sendiri.
Akhirnya Mbak In tidak tahan waktu melihat Susi mengangkangkan satu kaki di atas ranjang, sambil meremas vaginanya yang merah yang berbulu tipis itu. Susi, gadis sipit dari Pontianak itu memang sensual dan erotis. Mbak In terengah.
"Udah giliranku dulu baru kamu Sus. Ayo Gus, mana burungmu..".
Aku menarik Mbak In ke sofa. Aku duduk seperti memangkunya, lalu Mbak In jongkok di atas pangkuanku sambil mengangkang, dengan begitu penisku bisa menembus vagina Mbak In yang lebih gelap dari Susi. "Blkess..", nikmat sekali masuknya karena sudah licin vagina Mbak In si lajang gila seks. Susi hanya melihat saja. Akhirnya dia punya inisiatif. Dia ciumi vagina Mbak In dan penisku, sementara pantat Mbak In naik turun.
Jadi begini posisinya. Mbak In mengangkang di pangkuanku, menghadap ke depan, dengan vagina tertembus penis, sementara Susi nungging di depan sofa dengan muka menempel di kemaluan kami. Jilatan Susi kian menggila. Ketika penisku keluar, karena meleset gara-gara vagina Mbak In sudah banjir, segera ditangkapnya dan dikocok. Sementara mulutnya masih menggarap clitoris dan vagina Mbak In.
Mbak terengah-engah. Kadang menjerit. Susi memang pintar. Jam terbangnya sebagai wanita nakal tahu bahwa penisku mau muncrat. Maka peniskupun digenggamnya erat, agar kecekik, sehingga maniku tertahan. Sementara itu mulut dan tangan kanan Susi sibuk menggerayangi tubuh Mbak In. Si Mbak rupanya sudah tidak peduli kalau penisku sudah tidak di dalam vaginanya lagi. Oralnya si Susi telah melambungkannya ke alam birahi ternikmat di dunia.
Akhirnya Mbak In mencapai klimaks. Aku dengar suara mulut Susi mengisap-isap cairan vagina Mbak. "Slrpp..". Beberapa kali Mbak In klimaks, sampai akhirnya menjerit, "Memek, memek, memekkuu.., nggak tahan.., Lu memang lonte hebat Susi.., Ajarin aku buat menikmatin seks.., Auhh.., itilku mau lepas, aku kebelet pipis, memekku mau pecah.., Mana burung, mana mani..".
Semakin seru ucapan Mbak In di ambang puncak dari segala puncak birahinya.
Akhirnya semuanya usai. Mbak In terkulai, dengan vagina memerah basah, begitu pula bulu lebatnya yang basah kuyup, karena campuran cairan vagina dan ludah si amoy Susi. Mbak Indriani turun dari pangkuanku, lalu merebahkan diri di kasur. Aku sudah tidak tahan. Maka segera aku kocok penisku.
Susi tiba-tiba bilang, "Jangan Gus. Itu buatku. Lu pikir gue nggak kangen juga. Biar lonte gue juga butuh nikmat lho.."
Susi rebah di ranjang, di sebelah Mbak In, lalu mengangkang, dan penisku ditariknya. Lalu, "Bles..". Baru dua menit aku sudah muncrat habis-habisan. Tapi aku tahu siapa Susi karena aku langganannya. Justru ketika aku muncrat itulah dia mulai beranjak orgasme. Ketika penisku melemas, dia seperti berpacu dengan waktu, agar bisa mencapai puncak, sementara vaginanya kian licin karena sperma, dan penisku bisa tergelincir keluar.
Akhirnya dia puncak juga. Dan memberi servis extra, melumat penisku yang melemas dengan mulutnya, sampai penisku betul-betul mengerut kecil dan kering maninya. Setelah itu kami istirahat, memesan makanan yang diantar oleh pelayan. Kami telanjang. Pelayan motel tidak bakal melihat, karena nganternya cuma dari lubang.
"Gua mau mandi ah", kata Susi. Dia memang cuma makan sedikit, sehingga dengan nikmat bisa mutusin buat mandi. Begitu shower di kamar mandi terdengar, Mbak In meraihku.
"Masih bisa berdiri nggak, Gus?".
"Aduh, aku capek Mbak, udah lemas..".
"Ya udah, kita 69 aja ya.., Aku lagi birahi tinggi nih.., Biasa, mau mens Gus".
Lalu kami ber-69. Mula-mula aku keringkan vagina basah dengan bulu yang awut-awutan dengan celana dalam Mbak In. Itu yang sering aku lakukan, mengepel vagina dengan underwearnya Mbak In.
Setelah vaginanya kering, aku jelajahi dengan mulutku. Rupanya cairan vagina Mbak In juga sudah habis. Jadi aku harus mengeluarkan saliva-ku agar vaginanya basah. Karena aku berposisi 69 di atas, maka kusibak lubang itu selebar-lebarnya, lalu aku ludahi. Setelah basah, aku mengulum clitoris Mbak In yang sebesar mete itu.
Setelah kami berukar posisi. Dia di atas. Setelah itu jariku masuk ke vaginanya. Satu jari dulu, jari tengah, keluar masuk, berputar-putar, menjelajahi lubang si lajang jalang. Lalu dua jari, jari tengah dan telunjuk. Selama dalam lubang, sebisa mungkin aku membentuk tanda V, sambil mengeksplorasi liang Mbak Indriani. Dia mulai terangsang. Mulai merintih. Mulai basah. Akhirnya tiga jariku masuk ke vaginanya, dan berputar-putar.
"Gilaa.., kenapa nggak dari dulu kamu lakukan Gus? Teruss..".
Karena di atas, Mbak lebih leluasa. Pinggulnya terus bergerak. Aku sempat kehabisan napas, soalnya hidung dan mulutku digusel vagina dan bulu vaginanya tiada henti, sehingga oksigen terhambat masuk ke mulut dan hidungku. Mbak In sendiri makin kuat mengulum dan mengocok penisku. Akhirnya aku ereksi sedikit, dan akhirnya bisa berdiri tegak.
"Terus Mbak, dikocok, diemut, dijilat.., Terus.., sampe keluar maniku..".
"Sayang banget kalo kamu muncrat sekarang. Masukin dulu ke lubangku, baru kamu boleh muncrat..".
"Tapi Mbak di atas ya..".
Mbak In tidak menjawsab, tapi langsung ganti posisi. Dia menindihku dan dalam sekejap vaginanya tertembus oleh penisku. Dia terus bergerak. Keringatnya membanjir. Lipstiknya habis. Rambutnya acak-acakan. Tapi entah mengapa dia jadi kelihatan cantik sekaligus jalang.
"Gus kamu tahan nafsumu, jangan ikutan aktif, biar nggak nggak cepat muncrat..". Lalu dia memacu diri.
Saat itulah Susi keluar dari kamar mandi, cuma dililit handuk.
"Ayo Susi sayang, bantu aku..".
Susi ketawa, "Udah tuntasin aja secepatnya Mbak..".
"Ayo Sus..", kata Mbak In.
"Tapi tambah Rp 75.000 ya?".
"Terlalu lu Sus.., Komersil banget sih?".
"Gue kan nyari nafkah Mbak.." Sambil menjawab, Susi sudah duduk di samping kami. Tangannya meraba biji pelirku.
"Gini deh, mulut gue udah capek nih. Gimana kalo pake jari, tapi gratis?".
Mbak In yang terengah-engah itu tidak menjawab. Yang terasa sekarang adalah penisku seperti punya teman di lubang. Jari tengah Susi ikut menembus vagina Mbak In. Mbak In blingsatan. Mulai ngomong jorok.
"Bagus, Sus, bagus.., Gila, itil gue lu jepit pake jari ya?, Uhh", Mbak In kian berkeringat. Aku tidak melihat apa yang sedang trjadi, karena posisiku tidak memungkinkan untuk tahu. Bayangkan, Mbak In di atas, dan terus menciumiku. Aku tahu, birahinya mulai menanjak kencang. Yang pasti kurasakan jemari Susi bermain-main di kemaluan kami.
"Gila! Gila! Gila Gus! Dua jari njepit itilku, lalu jempolnya masuk dubur.., Terlalu Gus! Nikmat Gus! Gila Gus. Jempolnya udah digantiin jari lain.., gilaa, Uhh aku sampai puncak!".
Mbak In bergerak liar, akibatnya penisku terlepas. Tapi dia tidak mempedulikan penisku lagi, soalnya jemari Susi terus memburu, menggarap clitoris dan anus. Akhirnya Mbak In terkulai setelah menjerit, "Akuu!". Aku sendiri segera mengocok penisku. Tidak sampai semenit penisku sudah mendidih dan siap muncrat. Dengan segera aku bangkit, memiringkan badan, dan mengarahkan penisku ke wajah Mbak In yang tergolek kelelahan dengan nafas terengah-engah. "Cratt.., tes.., tes..", Air maniku menyiram wajah Mbak In yang siang ini tampak cantik sekali. Kena pipinya, hidungnya, bibirnya, bahkan matanya. Itulah salah satu petualangan seks-ku dengan Mbak Indriani..
TAMAT
Langganan:
Postingan (Atom)